Rencana ambisius pemerintah untuk mendirikan 80.000 Koperasi Desa/Kelurahan atau KopDes Merah Putih mulai mendapat sorotan serius dari para pengamat ekonomi
KLIKBERITA24.COM - Rencana ambisius pemerintah untuk mendirikan 80.000 Koperasi Desa/Kelurahan atau KopDes Merah Putih mulai mendapat sorotan serius dari para pengamat ekonomi. Sejumlah pihak mengingatkan adanya potensi meningkatnya kredit macet jika tidak disertai dengan mitigasi risiko yang matang serta tata kelola yang transparan.
Program besar ini dijadwalkan akan diluncurkan pada 12 Juli 2025 dan mulai beroperasi secara penuh pada 28 Oktober 2025. Namun, lonjakan skala pembangunan koperasi desa tersebut dinilai membawa risiko serius jika tidak dirancang dengan cermat, khususnya dalam aspek akuntabilitas dan pengelolaan.
Direktur Eksekutif Core Indonesia Mohammad Faisal menilai risiko kredit bermasalah dapat muncul bila tata kelola KopDes dilakukan tanpa transparansi dan akuntabilitas yang kuat. Ia menekankan bahwa kasus serupa telah banyak terjadi di koperasi-koperasi sebelumnya yang akhirnya gagal beroperasi dengan baik.
“Risikonya [kredit macet di KopDes Merah Putih] kalau tidak dimitigasi cukup besar, karena selama ini banyak kasus-kasus di koperasi itu kreditnya seringkali mengalami kemacetan karena masalah governance atau tata kelola,” kata Faisal kepada Bisnis, dikutip pada Kamis (29/5/2025).
Skala proyek yang besar disebut-sebut sebagai salah satu aspek yang justru berpotensi menjadi beban baru. Pemerintah menetapkan target pendirian koperasi desa hingga 80.000 unit, angka yang jauh lebih besar dibanding jumlah koperasi aktif yang saat ini berjalan secara optimal di Indonesia.
Faisal menambahkan bahwa selain jumlahnya yang sangat besar, tantangan lainnya adalah kesiapan sumber daya manusia dan penyesuaian dengan kondisi lokal di setiap wilayah. Ia mengingatkan bahwa pengalaman dari program dana desa selama hampir satu dekade terakhir menunjukkan keberhasilan yang belum merata.
“Berkaca dari kasus dana desa saja sebetulnya tingkat keberhasilannya tidak seragam. Padahal dana desa sudah berjalan hampir 10 tahun, dan itu ada banyak masih menyisakan catatan-catatan yang kurang baik dalam hal implementasinya,” tuturnya.
Menurutnya, pembelajaran dari berbagai catatan di lapangan itu seharusnya menjadi pijakan dalam menyusun konsep dan pengelolaan KopDes Merah Putih. Ia mengingatkan bahwa pendekatan bisnis dalam koperasi sangat penting untuk mencegah gagal bayar pinjaman di kemudian hari.
“Ini [KopDes Merah Putih] akan sangat mungkin [terjadi potensi kredit macet] kalau tidak dikelola dengan baik, memperhatikan dari mindset atau tata kelola di dalam koperasinya harus berorientasi bisnis, ini bisa jadi kredit macet,” tuturnya.
Sinyal peringatan serupa juga datang dari kalangan legislatif. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta Menteri Koperasi dan UKM Budi Arie agar tidak terburu-buru dalam mengejar target kuantitas pembentukan koperasi tanpa memperhatikan aspek kualitas dan dampak nyata bagi masyarakat.
Pimpinan Komisi VI DPR Nurdin Halid menggarisbawahi bahwa hingga 25 Mei 2025, pemerintah sudah mencatat pembentukan sebanyak 45.553 KopDes atau sekitar 54,26% dari target total. Namun ia menekankan bahwa koperasi yang hanya sekadar berdiri secara administratif namun tanpa kegiatan usaha yang nyata berisiko menjadi koperasi “kertas”.
“Ini menimbulkan kekhawatiran jangan sampai karena mengejar angka [80.000 KopDes Merah Putih], kita justru melahirkan koperasi-koperasi kertas, koperasi yang hanya tercatat secara administratif tetapi tidak memiliki kegiatan usaha nyata yang berdampak bagi masyarakat,” ujar Nurdin dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi VI dengan Menteri Koperasi di Kompleks Senayan DPR, Jakarta, Senin (26/5/2025).
Nurdin juga menyoroti potensi penyimpangan jika pendanaan KopDes mengandalkan sumber dari dana desa atau dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) tanpa disertai sistem pengawasan
Nurdin juga menyoroti potensi penyimpangan jika pendanaan KopDes mengandalkan sumber dari dana desa atau dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) tanpa disertai sistem pengawasan yang memadai. Menurutnya, tanpa sistem verifikasi dan akuntabilitas yang kuat, dana publik bisa rawan disalahgunakan.
Ia mengingatkan bahwa moral hazard dan pemborosan anggaran bisa terjadi jika tidak ada langkah tegas dalam sistem monitoring. Kegagalan membangun koperasi yang berkualitas bukan hanya menjadi beban fiskal, tapi juga mencederai kepercayaan masyarakat terhadap program pembangunan desa.
Poin yang juga disorot adalah mekanisme pembiayaan program ini. Skema yang dirancang pemerintah melibatkan pinjaman dari Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) sebesar Rp3 miliar per koperasi, dengan cicilan dibayarkan melalui dana desa. Skema ini dinilai berisiko memberikan tekanan keuangan yang cukup besar terhadap keuangan desa di masa mendatang.
Lebih jauh, Nurdin menilai bahwa skema pembiayaan ini juga bisa memberikan tekanan tambahan pada kondisi likuiditas bank BUMN jika tidak ditopang oleh manajemen risiko dan prospek bisnis koperasi yang jelas. Tanpa perhitungan yang matang, bank pelat merah bisa mengalami pembengkakan kredit bermasalah.
“Tanpa jaminan kualitas koperasi terbentuk dan prospek usaha [KopDes Merah Putih] yang jelas, potensi kredit bermasalah akan meningkat dan tujuan pembangunan desa justru terdisrupsi oleh utang struktural yang tidak sehat,” kata Nurdin.
Kekhawatiran terhadap proyek besar ini menunjukkan bahwa transparansi, pengawasan, dan perencanaan berbasis data harus menjadi prioritas utama. Tanpa hal tersebut, ambisi membangun koperasi rakyat justru bisa menjadi jebakan ekonomi jangka panjang, bukan solusi bagi penguatan ekonomi desa. (WAN)