Categories: Nasional

Wamenaker Jelaskan Alasan Driver Ojol Dapat BHR Rp 50.000

Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer atau Noel memberikan penjelasan terkait isu yang berkembang mengenai pengemudi ojek online (ojol) yang hanya menerima Bonus Hari Raya (BHR) sebesar Rp 50.000.

Isu ini sempat menuai protes dari para pengemudi ojol yang merasa nominal tersebut terlalu kecil dan tidak adil dibandingkan dengan jumlah kerja yang telah mereka lakukan selama setahun terakhir.

Menurut Noel, ada sistem kategorisasi yang diterapkan oleh pihak aplikator dalam menentukan besaran BHR yang diterima oleh para driver ojol.

Hal ini menjadi faktor utama mengapa ada perbedaan signifikan dalam jumlah BHR yang diterima oleh masing-masing pengemudi.

Kategori Penentuan BHR oleh Aplikator

Sejumlah driver ojol memprotes besaran Bonus Hari Raya (BHR) yang dianggap tidak adil, dengan beberapa hanya menerima Rp 50.000.

Dalam keterangannya, Noel mengungkapkan bahwa dirinya sudah menghubungi beberapa pihak aplikator besar seperti Gojek dan Grab untuk meminta penjelasan mengenai sistem pembagian BHR tersebut.

Menurutnya, perusahaan aplikator telah menetapkan beberapa kategori yang membedakan driver berdasarkan tingkat produktivitas dan jumlah jam kerja yang telah mereka lakukan selama periode tertentu.

“Kita tanyakan, kenapa ada yang hanya mendapat Rp 50.000? Kita telepon Gojek, kita telepon Grab. Akhirnya mereka menjelaskan bahwa ada kategori 1, 2, 3, 4, 5,” kata Noel saat ditemui di Kantor Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Jakarta Selatan, pada Selasa (25/3).

Ia menjelaskan bahwa pengemudi ojol yang hanya menerima BHR Rp 50.000 dikategorikan sebagai pekerja paruh waktu atau part-time.

Dalam sistem aplikator, pengemudi tersebut dianggap tidak menjalankan profesi sebagai driver ojol secara penuh, melainkan hanya sebagai pekerjaan sampingan.

“Jadi, bukan benar-benar mereka yang ngojek beneran lah. Mereka cuma sambilan, pekerja sambilan. Nah, sebetulnya kalau menurut mereka, dari platform digital mereka nggak dapat (BHR). Tapi ya, kami secara moral tetap memberikan,” ujar Noel.

BHR dengan Nominal yang Lebih Besar

Noel juga menegaskan bahwa tidak semua pengemudi ojol menerima BHR dalam jumlah kecil.

Menurutnya, banyak juga pengemudi yang mendapatkan BHR dengan nominal yang jauh lebih besar karena memenuhi kategori yang ditentukan oleh aplikator.

“Di Maxim, minimal Rp 500.000. Sebenarnya banyak juga yang mendapatkan lebih dari Rp 1.000.000. Di Grab, di Gojek, di Maxim, dan di Indrive itu semua rata-rata mendapatkan Rp 450.000,” jelas Noel.

Dengan adanya sistem ini, pihak aplikator mencoba menyesuaikan jumlah BHR dengan produktivitas para pengemudi.

Mereka yang bekerja lebih banyak dan lebih konsisten mendapatkan insentif yang lebih besar dibandingkan dengan mereka yang hanya bekerja secara paruh waktu atau memiliki tingkat penerimaan order yang rendah.

Protes dari Serikat Pekerja Ojol

Meskipun ada penjelasan dari Wamenaker dan pihak aplikator, kebijakan ini tetap menuai protes dari sejumlah pengemudi ojol yang tergabung dalam Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI).

Mereka menilai bahwa sistem kategorisasi yang diterapkan oleh aplikator bersifat diskriminatif dan tidak adil bagi para driver yang sudah bekerja keras.

Ketua SPAI, Lily Pujiati, menyampaikan bahwa pihaknya menerima banyak keluhan dari pengemudi ojol yang merasa dirugikan oleh sistem ini.

Salah satu contoh yang ia sebutkan adalah seorang pengemudi ojol dari Gojek yang hanya menerima BHR sebesar Rp 50.000, padahal penghasilannya selama satu tahun mencapai Rp 93 juta.

“Hitungan ini sangat tidak adil karena platform menentukan kategori yang diskriminatif seperti hari kerja 25 hari, jam kerja online 250 jam, tingkat penerimaan order 90 persen, total orderan minimal 250 orderan dan rata-rata rating 4,9 setiap bulannya,” kata Lily dalam keterangan tertulisnya pada Selasa (25/3).

Menurut Lily, kebijakan ini sangat berbeda dengan pernyataan yang sebelumnya disampaikan kepada Presiden Joko Widodo, di mana dikatakan bahwa BHR pengemudi ojol bisa mencapai Rp 1 juta.

Faktanya, banyak pengemudi yang menerima jauh di bawah angka tersebut karena dianggap tidak memenuhi kategori tertentu yang ditetapkan oleh aplikator.

Masalah Skema Prioritas dan Perbedaan Klasifikasi

Lily juga menyoroti bahwa produktivitas driver sering kali dipengaruhi oleh sistem prioritas yang diterapkan oleh aplikator.

Ada beberapa skema yang diterapkan, seperti skema prioritas, skema slot, skema aceng (argo goceng), dan skema level atau tingkat prioritas.

Hal ini membuat tidak semua driver memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan orderan dalam jumlah besar.

Dengan adanya perbedaan sistem ini, banyak pengemudi yang merasa kesulitan untuk mencapai target yang ditetapkan oleh aplikator, meskipun mereka telah bekerja keras.

Akibatnya, mereka tidak bisa memenuhi kriteria untuk mendapatkan BHR dalam jumlah yang lebih besar.

Harapan Pengemudi Ojol dan Solusi dari Pemerintah

Melihat adanya ketidakpuasan dari para pengemudi ojol, Noel menyatakan bahwa pihaknya akan terus berupaya untuk mencari solusi terbaik agar semua pengemudi mendapatkan haknya secara adil.

Ia berharap agar pihak aplikator bisa lebih transparan dalam memberikan informasi mengenai skema pemberian BHR dan tidak menerapkan sistem yang terlalu memberatkan bagi para pengemudi.

Di sisi lain, ia juga mengimbau para pengemudi untuk memahami bahwa sistem yang diterapkan oleh aplikator dibuat berdasarkan produktivitas dan konsistensi kerja.

Oleh karena itu, pengemudi yang ingin mendapatkan BHR dalam jumlah besar harus bisa memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh platform.

“Kita tentu ingin agar semua pihak bisa mendapatkan keadilan. Pihak aplikator juga harus lebih transparan dan memberikan kebijakan yang tidak terlalu memberatkan driver. Pemerintah akan terus memantau agar sistem ini bisa berjalan lebih baik ke depannya,” tutup Noel.

Dengan adanya dialog antara pemerintah, aplikator, dan pengemudi ojol, diharapkan ke depan sistem pemberian BHR bisa lebih adil dan transparan, sehingga tidak ada lagi pengemudi yang merasa dirugikan dengan kebijakan yang ada.(vip)