Categories: Berita

Tarif Trump Picu Krisis Ekspor China ke AS

Kebijakan tarif tinggi yang kembali digaungkan oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menjadi perhatian besar dalam lanskap perdagangan global.

Terbaru, Trump menyatakan bahwa jika ia kembali terpilih sebagai Presiden AS, ia akan menerapkan tarif hingga 60% untuk berbagai produk asal China.

Pernyataan ini menimbulkan kekhawatiran besar, terutama bagi para pelaku ekspor China yang telah bergantung pada pasar Amerika selama beberapa dekade terakhir.

Kebijakan proteksionis ini dipandang sebagai pemicu baru dalam ketegangan dagang antara dua ekonomi terbesar dunia, yang sebelumnya sempat mereda sejak pergantian kepemimpinan dari Trump ke Joe Biden.

Namun kini, ancaman tarif tinggi kembali menjadi momok serius dan memicu krisis ekspor China ke Amerika Serikat.

Dampak Langsung terhadap Ekspor China

China adalah salah satu mitra dagang utama AS. Pada tahun-tahun sebelumnya, berbagai produk seperti elektronik, tekstil, komponen kendaraan, hingga peralatan rumah tangga menjadi bagian penting dari arus ekspor China ke Amerika.

Namun dengan adanya rencana tarif yang agresif dari Trump, para eksportir China mulai merasakan tekanan besar.

Sejak pernyataan Trump mengemuka, banyak importir di AS menahan pesanan dari China. Mereka khawatir bahwa jika kebijakan tarif diberlakukan, maka biaya impor akan melonjak tajam, dan pada akhirnya akan memengaruhi harga jual dan daya saing produk di pasar domestik.

Hal ini berdampak langsung pada pabrik-pabrik di China, terutama yang berorientasi ekspor, yang harus mengurangi produksi atau bahkan menutup operasi sementara.

Lebih dari sekadar penurunan volume ekspor, ketidakpastian pasar juga mulai berdampak pada nilai mata uang yuan.

Melemahnya yuan menjadi indikasi bahwa pelaku pasar melihat risiko jangka pendek dan panjang akibat kebijakan ini.

Respon Pemerintah dan Dunia Usaha China

Pemerintah China secara resmi telah menyatakan keprihatinannya terhadap ancaman tarif tersebut.

Melalui perwakilannya di Kementerian Perdagangan, Beijing menyebut langkah Trump sebagai bentuk “unilateralisme ekstrem” yang dapat merusak sistem perdagangan internasional yang adil.

Di sisi lain, kalangan dunia usaha di China berupaya melakukan diversifikasi pasar. Banyak eksportir kini melirik pasar Asia Tenggara, Timur Tengah, dan Afrika sebagai alternatif tujuan ekspor.

Namun, tetap saja, kehilangan akses bebas hambatan ke pasar AS merupakan kerugian besar yang tidak mudah tergantikan dalam waktu singkat.

Analisis Ekonomi: Efek Domino Global

China dan AS

Ketegangan dagang antara AS dan China tidak hanya berdampak pada dua negara tersebut, melainkan juga menimbulkan efek domino di pasar global.

Banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, ikut terdampak melalui rantai pasok global.

Misalnya, jika China mengalihkan produk ekspornya ke pasar lain, maka bisa terjadi kelebihan suplai yang menekan harga produk serupa di negara tujuan.

Hal ini bisa mempersulit produk-produk lokal untuk bersaing. Di sisi lain, perusahaan-perusahaan multinasional yang memiliki basis produksi di China mungkin akan mempertimbangkan relokasi ke negara lain, termasuk ke Asia Tenggara, yang menawarkan biaya produksi lebih rendah dan stabilitas hubungan dagang yang lebih baik dengan AS.

Politik Dagang dalam Pilpres AS 2024

Pernyataan Trump mengenai tarif China juga tidak bisa dilepaskan dari konteks politik dalam negeri AS.

Isu perdagangan kerap menjadi senjata kampanye yang kuat, terutama untuk menarik dukungan dari kelas pekerja dan industri manufaktur domestik.

Trump selama ini memang dikenal dengan pendekatan proteksionisnya. Dalam periode sebelumnya, ia menerapkan tarif besar-besaran pada baja, aluminium, dan berbagai produk China, yang kemudian memicu perang dagang sengit.

Meski banyak kalangan bisnis menilai bahwa perang dagang merugikan semua pihak, namun basis pendukung Trump menganggap kebijakan tersebut sebagai upaya melindungi pekerjaan di dalam negeri.

Jika Trump benar-benar kembali menduduki kursi Presiden AS, maka besar kemungkinan strategi perdagangan keras terhadap China akan kembali diterapkan.

Hal ini membuat banyak pelaku ekonomi global mulai mengambil langkah antisipatif sejak sekarang.

Apa yang Harus Dilakukan China?

Dalam menghadapi ancaman ini, China dihadapkan pada dua opsi besar: mengandalkan kekuatan pasar domestik dan memperkuat perdagangan regional, atau melakukan reformasi besar-besaran dalam model ekonominya.

Langkah pertama yang kini mulai terlihat adalah penguatan kemitraan dagang dengan negara-negara anggota Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), serta peningkatan investasi di sektor teknologi dalam negeri untuk mengurangi ketergantungan pada pasar ekspor.

Selain itu, China juga tengah menggencarkan kerja sama bilateral dengan negara-negara di Afrika dan Amerika Latin untuk membuka pasar baru.

Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa AS tetap menjadi pasar ekspor utama yang sulit digantikan. Maka dari itu, China juga mulai mengandalkan jalur diplomasi untuk menurunkan tensi dagang yang kembali meningkat.

Kebijakan tarif Donald Trump terhadap produk-produk China telah menimbulkan ketegangan baru dalam hubungan perdagangan antara kedua negara.

Ancaman tarif hingga 60% membuat eksportir China waspada, bahkan mulai mengalami penurunan pesanan dari pasar AS.

Pemerintah China berupaya melakukan berbagai langkah antisipatif, termasuk diversifikasi pasar dan penguatan hubungan dagang regional.

Namun, selama ketidakpastian politik di AS masih berlangsung, dan Trump tetap mengangkat isu perdagangan sebagai senjata kampanye, maka krisis ekspor China kemungkinan akan terus berlanjut.

Dunia pun menanti apakah hubungan dagang dua kekuatan ekonomi dunia ini bisa kembali stabil, atau justru memasuki babak baru dari perang dagang yang lebih luas. (ctr)