Tarif Impor Trump Hantam Industri Tekstil dan CPO Indonesia, 1,2 Juta Pekerja Terancam PHK Massal

Tarif impor trump

Kebijakan tarif impor tinggi yang diterapkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dinilai membawa ancaman nyata bagi sektor tenaga kerja Indonesia. Kebijakan ini diperkirakan akan memukul kinerja ekspor nasional secara signifikan.

Menurut analisis Center of Economic and Law Studies (Celios), efek kebijakan ini bisa sangat luas. Diperkirakan akan ada sekitar 1,2 juta pekerja di Indonesia berisiko terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal.

Direktur Celios, Nailul Huda, menjelaskan bahwa estimasi tersebut mengacu pada model perhitungan yang digunakan International Monetary Fund (IMF). Dalam skema tersebut, setiap kenaikan tarif impor sebesar 1% akan menekan permintaan hingga 0,8%.

Celios memperkirakan penurunan ekspor Indonesia ke Amerika bisa mencapai 20% hingga 24% per jenis barang. Jika proyeksi ini terjadi, maka jutaan tenaga kerja di berbagai sektor bisa terancam kehilangan penghasilan.

Salah satu sektor yang paling rentan terkena dampaknya adalah industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Nailul menyebutkan bahwa sekitar 191.000 pekerja di sektor ini berisiko besar mengalami PHK.

Namun, risiko tersebut tidak hanya terbatas pada sektor industri formal. Para pekerja di sektor informal juga menghadapi tekanan serupa, termasuk petani yang menjadi pemasok bahan baku bagi industri makanan dan minuman.

Ketika industri besar mengalami penurunan permintaan, mata rantai pasok di sektor hulu juga akan terdampak. Petani dan pelaku usaha mikro pun akan terkena imbas dari berkurangnya kebutuhan bahan baku.

Selain TPT, sektor lain yang dinilai rentan adalah industri kimia dasar dan minyak nabati seperti Crude Palm Oil (CPO). Nailul menyebutkan bahwa sekitar 28.000 tenaga kerja di sektor CPO bisa terdampak langsung dari penurunan ekspor.

Kebijakan tarif dari pemerintahan Trump membuat produk ekspor asal Indonesia menjadi lebih mahal di pasar Amerika. Hal ini membuat konsumen AS beralih ke produk dari negara lain yang lebih murah.

Penurunan daya saing produk Indonesia secara langsung menurunkan permintaan. Ketika permintaan menurun, industri tak punya pilihan selain mengurangi produksi.

Dalam kondisi tersebut, perusahaan biasanya akan melakukan efisiensi besar-besaran. Salah satu bentuk efisiensi yang paling sering dilakukan adalah pengurangan tenaga kerja.

Menurut Nailul, dampak dari kebijakan proteksionis ini bisa memicu efek domino ke berbagai sektor lainnya. Ketika satu sektor melemah, sektor lain yang bergantung padanya ikut terguncang.

Kondisi ini diperparah oleh kenyataan bahwa Indonesia belum sepenuhnya siap untuk mengalihkan tujuan ekspor ke negara lain. Ketergantungan terhadap pasar Amerika Serikat masih cukup tinggi di berbagai sektor utama.

Nailul menambahkan bahwa kebijakan ini seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah Indonesia. Tanpa antisipasi yang tepat, ancaman ini bisa berkembang menjadi krisis ketenagakerjaan.

Pemerintah juga berencana melonggarkan kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan syarat pertimbangan teknis (pertek) impor. Sayangnya, pelonggaran ini bisa semakin memperlemah daya saing industri lokal di tengah situasi global yang tidak menentu.

Dalam kondisi seperti ini, penguatan industri dalam negeri menjadi sangat penting. Pemerintah perlu segera mendorong diversifikasi pasar ekspor agar tidak terlalu bergantung pada satu negara.

Langkah-langkah strategis untuk menjaga stabilitas ketenagakerjaan juga harus disiapkan. Termasuk di dalamnya adalah program bantuan sosial, pelatihan kerja ulang, dan dukungan bagi UMKM terdampak.

Celios juga mendorong pemerintah untuk aktif melakukan diplomasi dagang. Kerja sama internasional dan perjanjian perdagangan bebas bisa menjadi jalan keluar dari tekanan tarif ini.

Secara keseluruhan, kebijakan tarif impor tinggi dari Amerika Serikat menjadi tantangan besar bagi perekonomian Indonesia. Tanpa respons yang cepat dan tepat, ancaman ini dapat berkembang menjadi persoalan sosial yang lebih kompleks. (dda)