China dan AS
Konflik dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok kembali memanas. Pada awal April 2025, Beijing secara resmi menaikkan tarif terhadap barang-barang impor asal Amerika Serikat hingga 125 persen.
Langkah ini dinilai sebagai balasan keras atas kebijakan dagang proteksionis terbaru dari Washington.
Tak hanya menjadi berita besar dalam dunia perdagangan internasional, keputusan ini juga memicu kekhawatiran besar terkait masa depan hubungan dagang dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia.
Sejak Donald Trump kembali menjabat sebagai Presiden AS pada Januari 2025, arah kebijakan ekonomi dan perdagangannya mulai memperlihatkan tanda-tanda “America First” yang lebih tegas.
Dalam beberapa bulan pertama masa jabatannya, Trump mengeluarkan kebijakan kenaikan tarif besar-besaran untuk berbagai produk asal China—dari kendaraan listrik, panel surya, hingga komponen baterai lithium-ion, sebagai bentuk proteksi terhadap industri dalam negeri.
Sebagai respons langsung, pemerintah China tidak tinggal diam. Dalam pernyataan resminya pada 11 April 2025, Kementerian Keuangan China mengumumkan kenaikan tarif terhadap ratusan jenis produk asal AS menjadi 125 persen.
Barang-barang yang terdampak termasuk hasil pertanian seperti kedelai dan jagung, daging sapi, produk makanan olahan, serta barang-barang teknologi dan otomotif.
“Langkah ini diperlukan untuk melindungi kepentingan ekonomi nasional China,” tegas juru bicara kementerian tersebut. Ia menambahkan bahwa dengan situasi seperti ini, “tidak akan ada lagi pasar bagi barang-barang AS di China.”
Kenaikan tarif ini bukan hanya menyasar perdagangan bilateral antara AS dan China, tetapi juga menimbulkan efek domino di pasar global.
Harga komoditas naik, mata uang seperti yuan dan dolar mengalami fluktuasi besar, dan indeks saham global langsung mengalami tekanan.
Para pelaku pasar mulai menghitung ulang risiko investasi, terutama perusahaan-perusahaan multinasional yang memiliki rantai pasok sangat bergantung pada kedua negara.
Industri pertanian AS diperkirakan akan menjadi salah satu yang paling menderita. China selama ini adalah salah satu pembeli terbesar hasil pertanian AS, dan keputusan Beijing tentu akan membuat para petani di Amerika mengalami tekanan besar.
Sementara itu, perusahaan teknologi dan otomotif juga menghadapi risiko kehilangan pangsa pasar yang sangat besar di China, yang selama ini menjadi pasar ekspor terbesar kedua mereka setelah Eropa.
Banyak ekonom memandang bahwa eskalasi perang dagang ini justru menjadi kerugian bagi kedua negara.
Meskipun tujuannya adalah untuk melindungi industri dalam negeri, efek sampingnya justru dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi global.
Kenaikan harga bahan baku, disrupsi rantai pasok, dan menurunnya kepercayaan pasar bisa menimbulkan tekanan inflasi serta penurunan konsumsi.
Namun di sisi lain, beberapa negara seperti Meksiko, Vietnam, dan Indonesia berpotensi mengambil keuntungan dari ketegangan ini.
Mereka bisa menjadi alternatif sumber barang impor bagi AS dan China, serta menarik perusahaan-perusahaan global yang ingin memindahkan produksi mereka keluar dari zona perang dagang.
China Kenakan Tarif ke AS
Langkah Beijing menuai beragam tanggapan dari komunitas internasional. Uni Eropa menyerukan agar kedua negara segera menurunkan tensi melalui diplomasi dan dialog.
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menyatakan keprihatinannya terhadap kebijakan sepihak seperti ini, karena berisiko melemahkan sistem perdagangan multilateral yang selama ini menjadi dasar stabilitas ekonomi global.
Di dalam negeri China sendiri, kebijakan ini mendapatkan dukungan luas dari berbagai kalangan.
Media pemerintah menggambarkan langkah tersebut sebagai bentuk ketegasan negara dalam melindungi kepentingan nasional, sekaligus memperkuat kemandirian ekonomi melalui dorongan terhadap konsumsi dan produksi dalam negeri.
Pertanyaan besar yang kini muncul adalah: apakah ini awal dari perang dagang yang jauh lebih besar dibanding yang pernah terjadi di periode sebelumnya?
Beberapa analis menyebut langkah China ini sebagai “game-changer”. Dengan tarif 125 persen, hampir tidak ada lagi insentif bagi importir di China untuk membeli barang dari Amerika.
Jika situasi ini berlarut-larut, kemungkinan akan muncul kebijakan-kebijakan non-tarif tambahan seperti pembatasan lisensi, sertifikasi produk, atau bahkan pemblokiran platform digital dan teknologi milik AS.
Kondisi ini juga memperkuat tren de-globalisasi yang mulai terlihat dalam beberapa tahun terakhir.
Perusahaan-perusahaan global mulai mempertimbangkan strategi produksi dan distribusi yang lebih lokal atau regional, alih-alih terlalu bergantung pada hubungan antar-negara besar yang tak menentu.
Kenaikan tarif sebesar 125 persen oleh China terhadap barang-barang asal Amerika Serikat bukan hanya sinyal perang dagang, tetapi juga sebuah deklarasi politik dan ekonomi.
Dengan mengatakan “tidak ada lagi pasar bagi barang AS di China”, Beijing menunjukkan bahwa mereka siap menghadapi segala konsekuensi demi menjaga kedaulatan dan stabilitas ekonominya.
Namun pertanyaan besar masih tersisa: apakah kedua negara akan kembali ke meja negosiasi, atau justru memilih jalur konfrontasi lebih dalam?
Apa pun jawabannya, dunia kini menyaksikan babak baru dalam dinamika geopolitik dan ekonomi global dengan risiko dan peluang yang besar bagi semua pihak. (ctr)