Tarif Ekspor Indonesia ke AS Naik Jadi 32%, Ekonom Indef Beberkan Dampak Moderat

Ekonom Indef beberkan dampak dari kenaikan tarif ekspor Indonesia ke AS
Kebijakan tarif baru yang diberlakukan oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, memberikan dampak nyata terhadap perdagangan global, termasuk Indonesia. Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengungkapkan sejumlah implikasi kebijakan tersebut terhadap aktivitas ekspor Indonesia.
Ekonom Senior Indef, M. Fadhil Hasan, menyatakan bahwa Amerika Serikat adalah mitra dagang ekspor terbesar kedua bagi Indonesia setelah China. Dalam data yang disampaikan, kontribusi ekspor Indonesia ke pasar Amerika berkisar antara 10,3% hingga 10,5% dari total ekspor nasional.
Menurut Fadhil, meskipun angka tersebut signifikan, Indonesia masih memiliki ketergantungan yang lebih rendah terhadap AS dibanding negara-negara seperti Vietnam dan Thailand. Hal ini menjadikan Indonesia lebih tangguh dalam menghadapi dampak kebijakan tarif dari Negeri Paman Sam.
Dengan kondisi tersebut, Fadhil memperkirakan bahwa dampak dari kebijakan tarif baru AS terhadap Indonesia cenderung moderat. Ia menegaskan bahwa struktur perdagangan Indonesia tidak terlalu sensitif terhadap tekanan tarif global jika dibandingkan negara ASEAN lainnya.
Namun demikian, beberapa komoditas ekspor unggulan Indonesia diperkirakan akan terdampak secara langsung oleh kebijakan tersebut. Produk-produk seperti tekstil, garmen, alas kaki, dan minyak kelapa sawit (palm oil) menjadi sektor yang paling rentan terhadap kenaikan tarif.
Fadhil juga menambahkan bahwa negara-negara tetangga seperti Vietnam dan Thailand kemungkinan akan merasakan tekanan yang lebih besar dari AS. Hal ini disebabkan karena tingkat ketergantungan mereka terhadap pasar Amerika lebih tinggi dibandingkan Indonesia.
Indonesia sendiri masih memiliki keunggulan dalam hal surplus perdagangan dengan Amerika Serikat. Fadhil mencatat bahwa Indonesia mencatatkan surplus perdagangan terbesar dengan AS sebesar US$16,8 miliar, melampaui surplus perdagangan dengan India dan negara-negara lainnya.

Kenaikan tarif ekspor Indonesia ke AS
Meskipun porsi ekspor Indonesia ke AS hanya sekitar 10%, namun dari sisi trade surplus atau neraca dagang, Amerika merupakan penyumbang terbesar. Fakta ini menunjukkan bahwa Amerika Serikat adalah pasar yang penting bagi pertumbuhan ekspor Indonesia.
Dalam kebijakan terbarunya, Presiden Donald Trump memutuskan untuk mengenakan tarif impor minimal sebesar 10% terhadap seluruh mitra dagang Amerika. Negara-negara yang dianggap menghambat masuknya produk AS akan dikenai tarif lebih tinggi sebagai bentuk tekanan diplomatik dan ekonomi.
Trump menyampaikan bahwa langkah ini merupakan bagian dari upayanya untuk mencapai anggaran berimbang atau balance budget selama masa jabatannya. Ia ingin memastikan defisit anggaran tidak lagi membebani pertumbuhan ekonomi AS secara jangka panjang.
Dalam pidatonya yang berlangsung di Rose Garden, Gedung Putih, Trump menyatakan bahwa ini adalah bentuk “deklarasi kemerdekaan ekonomi” Amerika Serikat. Tujuan akhirnya adalah untuk mengurangi ketergantungan AS terhadap negara lain dan memperkuat industri dalam negeri.
Salah satu dampak langsung dari kebijakan tersebut terhadap Indonesia adalah peningkatan tarif bea masuk produk Indonesia menjadi 32%. Padahal sebelumnya, bea masuk untuk banyak produk Indonesia hanya sebesar 10%, bahkan beberapa produk bebas tarif karena adanya fasilitas Generalized System of Preferences (GSP).
GSP merupakan fasilitas perdagangan yang diberikan oleh Amerika kepada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, sebagai bentuk dukungan terhadap perekonomian negara tersebut. Namun, dengan diberlakukannya kebijakan tarif baru ini, Indonesia kehilangan sebagian dari keuntungan fasilitas tersebut.
Kenaikan tarif hingga tiga kali lipat tentu akan menurunkan daya saing produk Indonesia di pasar Amerika. Hal ini berpotensi menyebabkan turunnya volume ekspor dan menekan pendapatan pelaku usaha di sektor-sektor terdampak.
Terutama industri tekstil dan garmen yang selama ini sangat bergantung pada pasar ekspor, khususnya ke Amerika Serikat. Jika tidak diantisipasi dengan strategi diversifikasi pasar, maka sektor ini bisa menghadapi tekanan serius.
Selain itu, industri alas kaki dan minyak sawit juga berisiko mengalami penurunan ekspor karena tarif tinggi akan meningkatkan harga produk di pasar Amerika. Konsumen AS kemungkinan besar akan beralih ke produk dari negara lain yang memiliki tarif lebih rendah.
Maka dari itu, pemerintah Indonesia perlu segera mengambil langkah strategis untuk memperluas pasar ekspor ke negara-negara lain di luar AS. Diversifikasi pasar akan menjadi kunci agar perekonomian Indonesia tidak terlalu tergantung pada satu negara tujuan ekspor.
Selain diversifikasi, penguatan pasar dalam negeri juga menjadi salah satu solusi untuk mengurangi dampak kebijakan tarif AS. Jika konsumsi domestik bisa ditingkatkan, maka industri lokal tetap dapat bertahan meskipun ekspor menurun.
Indonesia juga bisa menjajaki kerja sama perdagangan bebas dengan negara-negara yang tidak menerapkan tarif tinggi. Perjanjian dagang seperti CEPA, FTA, atau RCEP dapat membuka akses baru bagi produk Indonesia ke pasar internasional.
Di sisi lain, pengusaha Indonesia harus meningkatkan efisiensi produksi dan kualitas produk agar tetap kompetitif di tengah tantangan global. Investasi dalam teknologi dan inovasi juga menjadi kebutuhan mendesak untuk memperkuat daya saing.
Kebijakan tarif Trump juga bisa menjadi momen refleksi bagi Indonesia untuk memperbaiki struktur ekspor nasional. Ketergantungan pada komoditas mentah harus mulai dikurangi dan beralih ke produk bernilai tambah tinggi.
Pemerintah bersama pelaku usaha harus memperkuat hilirisasi industri agar produk Indonesia memiliki nilai jual lebih tinggi di pasar global. Dengan begitu, tekanan dari kebijakan tarif bisa dikompensasi melalui peningkatan nilai ekspor.
Dalam jangka panjang, penting bagi Indonesia untuk tidak hanya berfokus pada volume ekspor, tetapi juga kualitas dan diversifikasi produk. Negara dengan sistem perdagangan yang adaptif akan lebih tahan terhadap gejolak ekonomi internasional.
Kebijakan unilateral seperti tarif Trump memang bisa berdampak negatif, namun juga bisa menjadi momentum untuk perbaikan sistem perdagangan nasional. Indonesia harus melihat situasi ini sebagai peluang untuk memperkuat posisi dalam rantai pasok global.
Melalui kolaborasi antara pemerintah, pelaku industri, dan investor, Indonesia dapat mengatasi tekanan tarif dan membuka pasar baru. Kuncinya adalah ketahanan, inovasi, dan strategi perdagangan yang fleksibel dan berorientasi masa depan.
Dengan begitu, meskipun kebijakan tarif AS menimbulkan tantangan, Indonesia tetap memiliki peluang untuk berkembang. Di tengah tekanan global, transformasi ekspor menjadi kebutuhan yang tak bisa ditunda lagi. (dda)