Sang Ayah Meninggal Dunia, Sarwendah Ungkap Mendiang Sempat Beri Pesan Ini Semasa Hidup

Ayah Sarwendah meninggal dunia usai menjalani perawatan intensif di rumah sakit.
KLIKBERITA24.COM - Jenazah ayah Sarwendah, Hendrik Lo, telah dikremasi pada Rabu, 23 Juli 2025 kemarin di Krematorium Rumah Duka Grand Heaven, Pluit, Jakarta Utara.
Proses kremasi berlangsung khidmat dan sarat makna, dimulai tepat pukul 11.18 WIB dan selesai sekitar empat jam kemudian.
Pada pukul 15.16 WIB, Sarwendah bersama anggota keluarga terlihat memasuki ruang kremasi untuk menyaksikan tahap akhir prosesi, yaitu pengumpulan abu jenazah yang nantinya akan disimpan dalam guci khusus.
Pemilihan waktu kremasi tersebut bukan tanpa pertimbangan. Menurut penuturan Sarwendah, keluarga menetapkan pukul 11.18 WIB berdasarkan perhitungan fengshui agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan secara spiritual.
“Udah dihitung sama Feng Shui katanya supaya nggak ada ciongnya lah. Pokoknya maunya yang terbaik buat papi di sana,” ungkap Sarwendah di sela prosesi.
Sebagai putri sulung, Sarwendah menanggung tanggung jawab penuh dalam memastikan setiap detail perpisahan terakhir dengan sang ayah dilakukan secara layak dan penuh penghormatan. Mulai dari persemayaman, tradisi keluarga, proses kremasi, hingga rencana pelarungan abu ke laut telah disiapkan dengan seksama.
Salah satu ritual yang dijalani adalah gin hwa, sebuah tradisi pembakaran rumah-rumahan sebagai simbol bekal kehidupan orang yang telah tiada. Dalam tradisi ini, keluarga membakar miniatur rumah lengkap dengan perlengkapan seperti kendaraan, emas, hingga asisten.
“Kalo tradisinya adalah rumahnya yang kita bakar di sini, yang kita kasih di sini, nanti akan muncul buat papi di sana. Jadi makanya rumahnya tadi kita bakarinnya dua. Terus ada asistennya juga, ada semuanya, mobil, emas, semuanya lengkap,” jelas Sarwendah.
“Seperti apa yang papi udah kasih ke kita selama ini, kita juga berikan buat papi juga di sana,” lanjutnya dengan nada haru.
Tak hanya dalam bentuk simbolik, Sarwendah juga memperhatikan estetika peti dan guci abu yang digunakan. Menurutnya, ukiran khas Tionghoa pada peti jenazah tersebut mewakili selera sang ayah dan menjadi bentuk penghormatan tersendiri.
“Pada saat lihat petinya, memang kayaknya papi bakal suka gitu karena ada ukiran-ukiran Chinese-nya. Yang katanya bagus lah buat papi. Dan tempat abunya juga udah dipilih yang papi suka lah,” ujarnya.
Seluruh proses perpisahan ini menjadi wujud nyata rasa terima kasih dan cinta mendalam Sarwendah kepada sang ayah. Ia menyadari bahwa ini adalah kesempatan terakhirnya untuk memberikan yang terbaik sebagai anak.
“Pastinya yang terbaik lah. Maksudnya ini kan cara berterima kasih aku sama papi untuk yang terakhir kalinya. Jadi aku usahakan buat kasih yang terbaik semuanya buat papi,” kata Sarwendah.
Setelah abu jenazah disiapkan, keluarga berencana melakukan pelarungan secara privat di Pantai Mutiara, Jakarta Utara. Pelarungan dilakukan dengan menggunakan kapal berkapasitas terbatas agar tetap intim dan penuh kekhusyukan.
“Udah pesan kapal juga, kapal buat acara penaburan abu. Cuman kalo misalnya yang di kapal mungkin yang lebih intimate karena kapalnya juga cuma (kapasitas) 70 orang,” tandasnya.
Pukul 16.06 WIB, Sarwendah dan rombongan keluarga bertolak ke lokasi pelarungan. Dalam prosesi keberangkatan tersebut, seluruh keluarga tampak kompak mengenakan busana merah sebagai simbol penghormatan.
Sarwendah berjalan pelan sambil menunduk lesu, memeluk erat foto sang ayah. Di sisi lain, adiknya, Dennise Lo, membawa guci berisi abu jenazah Hendrik Lo dengan ekspresi tenang namun penuh makna.
Duka mendalam masih membekas di hati Sarwendah. Meski sang ayah tak meninggalkan pesan terakhir, selama hidupnya Hendrik kerap menyampaikan kalimat sederhana namun penuh perhatian.
“Nggak ada pesan terakhir sih. Tiap kali dia ketemu aku paling dia selalu bilang ‘Jangan capek-capek’, ‘Mau makan apa?’ terus ‘Lu jangan sedih lah. Kalo lu sedih, gue ikut sedih. Lu harus bahagia’,” kenangnya.

Ayah Sarwendah meninggal dunia di usia 63 tahun.
Namun, di balik semua kenangan indah itu, Sarwendah mengungkapkan adanya satu hal yang belum sempat ia tuntaskan. Ia menyadari bahwa sang ayah menyimpan rasa kecewa karena dirinya belum kembali menikah setelah bercerai.
“Mungkin papi aku ngerasa seneng lihat anaknya gini, tapi pasti ada lah kekecewaan juga, kesedihan dia yang menurut aku belum aku selesaikan cuman memang udah jalannya,” ungkap Sarwendah.
Baginya, kehidupan rumah tangga kedua orangtuanya yang harmonis menjadi panutan. Namun, ia juga menyadari bahwa setiap perjalanan hidup memiliki jalan yang berbeda.
“Ya pasti lah itu impian aku yang dari dulu kiblat aku ketika menjalani hubungan rumah tangga dari keharmonisan orang tua. Cuma kan balik lagi kadang kehidupan rumah tangga orang berbeda-beda,” tuturnya dengan jujur.
Meski belum membangun rumah tangga kembali, Sarwendah tetap merasa bangga terhadap figur kedua orangtuanya yang selalu dikenang sebagai sosok yang ramah dan hangat.
“Jadi ya tapi ya aku banggalah semua orang melihat orangtua aku adalah orangtua yang sangat ramah dan harmonis,” pungkasnya.
Hendrik Lo meninggal dunia pada usia 63 tahun, Sabtu, 19 Juli 2025 pukul 08.18 WIB setelah menjalani perawatan intensif selama lima hari di rumah sakit akibat komplikasi dari penyakit batu empedu. (fam)