Saham Boeing Anjlok Akibat Konflik Dagang AS-China, Analis Beberkan Dampaknya Bagi Investor

Saham Boeing perusahaan penerbangan raksasa asal Amerika mengalami penurunan drastis akibat perang dagang AS-China
Boeing, raksasa industri penerbangan asal Amerika Serikat, kembali diterpa badai krisis. Kali ini, konflik dagang antara AS dan China menjadi pemicunya.
Presiden AS saat itu, Donald Trump, memberlakukan tarif impor tinggi terhadap sejumlah barang dari China. Kebijakan ini memicu respons keras dari Pemerintah China yang turut membalas dengan tindakan tegas.
Sebagai respons, China memerintahkan maskapai dalam negerinya untuk menunda penerimaan pesawat baru dari Boeing. Selain itu, pengadaan suku cadang dan perlengkapan pesawat dari perusahaan Amerika Serikat turut dihentikan.
Kebijakan ini diberlakukan usai China mengenakan tarif balasan hingga 125% terhadap barang-barang asal AS.Tarif tersebut membuat pembelian pesawat buatan AS menjadi sangat mahal dan tak lagi masuk akal secara bisnis.
Situasi ini jelas memukul industri penerbangan AS, khususnya Boeing, secara telak. Saham Boeing langsung merosot 14% dalam sehari, menghapus kapitalisasi pasar senilai lebih dari US$100 miliar.
Tak hanya di pasar saham, dampak juga terasa di sektor tenaga kerja. Sebanyak 17.000 karyawan terkena PHK, dan proses produksi mengalami gangguan besar.
Kondisi keuangan Boeing pun terguncang dengan rasio utang terhadap aset mencapai 102,5%. Selain itu, 55 unit pesawat yang belum dikirim kini terdampar di China, sebagian besar dipesan oleh maskapai negeri tirai bambu tersebut.
Penahanan pesawat-pesawat tersebut membekukan likuiditas Boeing senilai US$1 miliar. Sementara itu, maskapai China mulai beralih ke Airbus untuk memenuhi kebutuhan armadanya.
Pergeseran ke Airbus tersebut menyebabkan pangsa pasar Boeing di China anjlok tajam. Dari semula 53% pada 2018, kini tinggal 7%, meruntuhkan potensi pertumbuhan di pasar penerbangan terbesar dunia.
Berdasarkan laporan Bloomberg, harga saham Boeing kembali melemah 2,5% usai kabar langkah China tersebar ke publik. Penurunan ini menambah tekanan, dengan harga saham jatuh ke level US$161,90 per 17 April 2025.
Ketegangan perdagangan yang masih berlangsung menempatkan Boeing di posisi sulit di tengah perseteruan dua raksasa ekonomi dunia. Trump bahkan menuduh China melanggar komitmen dalam kesepakatan besar mengenai pembelian pesawat.
Bagi Boeing, kebuntuan ini menjadi pukulan baru setelah beberapa tahun menghadapi tantangan bertubi-tubi. Apalagi pasar China sangat strategis, dengan proyeksi menyumbang 20% kebutuhan pesawat global dalam dua dekade ke depan.
Pada tahun 2018, sekitar 25% dari keseluruhan produksi Boeing dialokasikan untuk pasar China. Namun, sejak konflik dagang memanas, belum ada pesanan besar yang diumumkan dari negara tersebut.
Masalah Boeing tidak berhenti di sana. Pada 2019, China merupakan negara pertama yang memberhentikan operasional 737 Max setelah dua kecelakaan tragis terjadi.
Situasi makin rumit ketika insiden ledakan penutup pintu terjadi di awal 2024. Kejadian itu semakin mencoreng reputasi Boeing di pasar internasional, termasuk di mata China.
Ketegangan politik dan isu keselamatan pesawat memicu maskapai China untuk memilih Airbus buatan Eropa. Ini memperkuat posisi Airbus sebagai pesaing utama dalam industri penerbangan global.
Meski begitu, pasar lain mulai menutupi kekosongan yang ditinggalkan oleh China. Permintaan yang meningkat dari India dan negara-negara berkembang membawa angin segar bagi Boeing.
Sejumlah pesawat 737 Max yang semula diproyeksikan untuk maskapai China kini dialokasikan ke maskapai di India. Boeing juga berhasil mengirimkan 13 unit 737 Max dan tiga unit 787 ke China tahun ini.
Masih ada sisa 28 unit 737 Max dan satu 787 yang menunggu pengiriman. Namun prospek jangka pendek di China masih belum pasti akibat ketegangan politik yang belum mereda.
Menurut analis JPMorgan, China tak lagi menjadi andalan pertumbuhan Boeing dalam waktu dekat. Meski begitu, pasar China tetap penting dalam jangka panjang mengingat potensi permintaannya.
China tetap mengandalkan produsen luar negeri untuk mencukupi kebutuhan armada penumpangnya. Meski begitu, mereka juga tengah membangun kekuatan industri lokal melalui pengembangan pesawat seperti Comac C919.
Di sisi lain, maskapai-maskapai China masih menggunakan ratusan unit Boeing yang memerlukan perawatan berkala. Ini membuka peluang pendapatan dari layanan purna jual dan penggantian suku cadang.
Beberapa maskapai bahkan telah menyiapkan cadangan suku cadang sejak beberapa tahun lalu. Suku cadang tersebut diperoleh dari produsen asli maupun pembelian pesawat lama.
Langkah ini membantu industri penerbangan China tetap berjalan meski pengiriman dari AS terhambat. Namun ketergantungan ini tetap menjadi celah yang bisa dimanfaatkan Boeing jika konflik mereda.
Analis Bloomberg Intelligence menyebut penghentian pengiriman Boeing oleh China sebagai langkah yang bisa diprediksi. Meski berdampak besar secara simbolis, volume pesanan China tidak sebesar negara lain.
Jika Boeing mampu menjual pesawat yang tertahan ke negara seperti India, risiko keuangan bisa dikelola dengan lebih baik. Hal ini juga memberi peluang bagi perusahaan untuk menyeimbangkan inventaris.
Namun tantangannya tetap besar mengingat reputasi Boeing yang terus diuji. Perusahaan melaporkan kerugian hingga US$11,83 miliar pada 2024, tertinggi sejak 2020.
Kerugian itu disebabkan kombinasi masalah di unit komersial dan pertahanan. Para investor kini semakin berhati-hati melihat prospek jangka panjang Boeing di tengah krisis yang terus bermunculan.
Bagi pelaku pasar dan investor, kondisi ini menjadi pengingat pentingnya diversifikasi portofolio. Ketergantungan pada saham industri yang rentan terhadap geopolitik bisa membawa risiko tinggi.
Namun di sisi lain, fluktuasi seperti ini juga menciptakan peluang spekulatif bagi mereka yang memiliki toleransi risiko tinggi. Dengan pemantauan cermat, momen seperti ini bisa menjadi titik masuk menarik saat valuasi saham tertekan. (dda)