Rupiah Terus Melemah! Ini Faktor Domestik dan Global yang Mempengaruhi

Rupiah terus melemah! ini faktor domestik dan global yang mempengaruhi

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus menunjukkan tren pelemahan dalam beberapa waktu terakhir.

Bank Indonesia (BI) mencatat bahwa nilai tukar rupiah ditutup pada posisi Rp 16.575 per dolar AS pada Rabu, 26 Maret 2025.

Namun, pelemahan masih berlanjut pada hari berikutnya, Kamis, 27 Maret 2025, di mana rupiah kembali turun menjadi Rp 16.590 per dolar AS pada awal perdagangan.

Situasi ini belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan signifikan. Terbaru, pada Kamis, 3 April 2025, nilai tukar rupiah kembali melemah sebesar 59 poin atau 0,36 persen menjadi Rp 16.772 per dolar AS.

Ini menandai tekanan yang semakin berat terhadap mata uang Garuda, yang kini menyentuh titik terendahnya dalam beberapa bulan terakhir.

Mengapa rupiah terus melemah? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dilihat lebih dalam berbagai faktor penyebab baik dari sisi domestik maupun global yang turut mempengaruhi pergerakan nilai tukar.

Faktor Global yang Menekan Rupiah

Faktor global yang menekan rupiah

Faktor Global yang Menekan Rupiah

1. Penguatan Indeks Dolar AS (DXY)

Salah satu faktor utama yang mempengaruhi pelemahan rupiah adalah menguatnya dolar AS secara global.

Indeks dolar AS (DXY), yang mengukur kekuatan dolar terhadap enam mata uang utama dunia, mengalami penguatan ke level 104,55.

Hal ini mencerminkan kepercayaan investor terhadap dolar AS sebagai aset safe haven di tengah ketidakpastian ekonomi global.

Kondisi ini menyebabkan tekanan terhadap mata uang negara berkembang, termasuk Indonesia, karena investor global cenderung menarik modal dari pasar negara berkembang dan mengalihkannya ke instrumen yang lebih aman dan stabil dalam denominasi dolar.

2. Kenaikan Yield Obligasi AS (US Treasury)

Faktor lain yang turut membebani rupiah adalah meningkatnya imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun (US Treasury), yang kini mencapai 4,352 persen.

Kenaikan yield ini membuat aset berbasis dolar semakin menarik di mata investor, sehingga mendorong aliran modal keluar (capital outflow) dari negara-negara berkembang.

Investasi di obligasi AS dianggap lebih menguntungkan dan aman, apalagi dengan ekspektasi bahwa suku bunga acuan The Fed akan tetap tinggi dalam waktu yang lebih lama.

3. Ketidakpastian Global: Geopolitik dan Ekonomi Tiongkok

Selain faktor pasar keuangan, ketegangan geopolitik seperti konflik di Timur Tengah maupun ketegangan dagang antara AS dan Tiongkok juga membuat investor global bersikap lebih hati-hati.

Di saat yang sama, perlambatan ekonomi Tiongkok sebagai mitra dagang utama Indonesia juga memberikan tekanan tambahan terhadap sentimen pasar di kawasan Asia.

Faktor Domestik yang Melemahkan Rupiah

1. Penurunan Yield Surat Berharga Negara (SBN)

Meskipun yield US Treasury meningkat, yield SBN 10 tahun justru mengalami penurunan dari 7,13 persen pada 26 Maret menjadi 7,09 persen pada 27 Maret 2025.

Penurunan ini membuat selisih imbal hasil antara SBN dan obligasi AS semakin sempit, yang pada akhirnya mengurangi daya tarik investasi di Indonesia, khususnya di pasar obligasi.

Dengan imbal hasil yang kurang kompetitif, investor asing lebih memilih keluar dari pasar obligasi Indonesia dan menukar rupiah mereka kembali ke dolar, sehingga memperbesar tekanan pelemahan mata uang domestik.

2. Kekhawatiran Terhadap Inflasi Domestik

Tingkat inflasi dalam negeri juga menjadi perhatian. Kenaikan harga bahan pangan dan energi di tengah bulan Ramadan serta menjelang Lebaran berpotensi mendorong lonjakan inflasi.

Jika inflasi tidak terkendali, daya beli masyarakat bisa terganggu, dan stabilitas ekonomi nasional menjadi terancam, yang turut mempengaruhi persepsi pasar terhadap rupiah.

3. Kinerja Neraca Perdagangan yang Berfluktuasi

Meskipun Indonesia masih mencatatkan surplus neraca perdagangan, tren fluktuasi ekspor dan impor menunjukkan ketidakpastian yang dapat berimbas pada ketahanan eksternal Indonesia.

Melemahnya permintaan global akibat perlambatan ekonomi negara-negara mitra dagang, termasuk Tiongkok dan Eropa, bisa mengurangi penerimaan devisa dari ekspor.

Tindakan Bank Indonesia

Bank Indonesia terus melakukan intervensi di pasar valas dan melakukan stabilisasi di pasar obligasi untuk menjaga volatilitas nilai tukar.

Kepala Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, menyampaikan bahwa stabilitas nilai tukar menjadi perhatian utama, dan BI akan terus memastikan kecukupan likuiditas serta menjaga mekanisme pasar berjalan dengan baik.

BI juga menegaskan akan menjaga kebijakan moneter tetap pro-stabilitas, termasuk dengan kemungkinan penyesuaian suku bunga acuan jika diperlukan untuk mengendalikan inflasi dan menjaga daya tarik aset rupiah.

Apa Dampak Melemahnya Rupiah?

Pelemahan rupiah bukan sekadar angka di layar perdagangan. Implikasinya bisa dirasakan secara langsung oleh masyarakat dan pelaku usaha. Beberapa dampak utamanya antara lain:

Harga Barang Impor Naik: Barang-barang yang diimpor dari luar negeri, seperti elektronik, bahan baku, hingga pangan tertentu, akan mengalami kenaikan harga.

Biaya Utang Luar Negeri Meningkat: Korporasi dan pemerintah yang memiliki utang dalam dolar akan menghadapi beban pembayaran bunga dan cicilan yang lebih besar.

Tekanan pada Inflasi: Kenaikan harga barang impor bisa menular ke sektor lain dan meningkatkan tekanan inflasi domestik.

Daya Beli Masyarakat Menurun: Akibat naiknya harga barang dan biaya hidup, konsumsi rumah tangga bisa menurun, menghambat pertumbuhan ekonomi.

Pelemahan rupiah saat ini merupakan hasil kombinasi dari tekanan global dan dinamika domestik.

Penguatan dolar AS, kenaikan yield obligasi AS, serta faktor-faktor internal seperti penurunan yield SBN dan tekanan inflasi menjadi pemicu utama.

Dalam situasi seperti ini, peran Bank Indonesia dan kebijakan fiskal pemerintah sangat krusial untuk menjaga stabilitas ekonomi.

Sementara itu, masyarakat diharapkan tetap bijak dalam mengelola keuangan dan memantau perkembangan ekonomi secara aktif.

Stabilitas nilai tukar adalah tanggung jawab bersama—antara otoritas, pelaku usaha, dan masyarakat luas.

Dengan koordinasi yang kuat dan kebijakan yang tepat sasaran, rupiah diyakini mampu kembali stabil dalam jangka menengah hingga panjang.(taa)