Isu Revisi UU TNI kembali mencuat dan menimbulkan perdebatan sengit di kalangan masyarakat. Di tengah upaya pemerintah memasukkan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke dalam Prolegnas Prioritas 2025, muncul kekhawatiran bahwa revisi ini dapat membuka peluang kembalinya konsep Dwifungsi ABRI yang pernah melekat di era Orde Baru.
Kondisi ini semakin diperparah dengan fakta bahwa lebih dari 2.500 prajurit aktif TNI telah menduduki jabatan sipil di Indonesia.
Jika revisi Revisi UU TNI ini disahkan, jumlah tersebut berpotensi bertambah secara signifikan, dan risiko mengembalikan dwifungsi yang menjadi trauma kolektif pun semakin nyata.
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, peran TNI dalam sistem pemerintahan Indonesia telah mengalami perubahan. Namun, fakta menunjukkan bahwa prajurit aktif tidak hanya berperan dalam pertahanan negara, melainkan juga telah menduduki berbagai posisi strategis di sektor sipil. Hal ini menjadi perhatian utama pegiat demokrasi, terutama anggota Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan yang memperingatkan bahwa dengan Revisi UU TNI ini, kecenderungan Dwifungsi ABRI yang sempat ada pada masa Orde Baru bisa kembali muncul.
Surat Presiden RI Nomor R12/Pres/02/2025 tertanggal 13 Februari 2025 telah menjadi momentum bagi pemerintah untuk mendorong revisi ini. Pemerintah menargetkan agar revisi tersebut selesai sebelum masa reses DPR atau sebelum libur Lebaran tahun ini, mengingat DPR akan memasuki masa reses mulai Jumat, 21 Maret 2025. Dengan jadwal yang sangat ketat, proses pembahasan dianggap harus berjalan cepat, bahkan dengan tempo yang dinilai “ngebut” agar target waktu terpenuhi.
Dalam konferensi pers yang digelar di gedung DPR RI, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menegaskan bahwa dalam Revisi UU TNI hanya ada tiga pasal yang sedang dibahas, yaitu Pasal 3, Pasal 53, dan Pasal 47. Menurut Dasco, tidak ada pasal-pasal lain yang disembunyikan atau didraf secara diam-diam. “Jadi dalam revisi UU TNI hanya ada 3 pasal, Pasal 3, Pasal 53, dan Pasal 47. Jadi nggak ada pasal-pasal lain yang kemudian di draf yang beredar di media sosial, saya lihat banyak sekali, kalaupun ada pasal pasal yang sama yang kita sampaikan itu isinya sangat jauh berbeda,” ujarnya dalam konferensi pers pada Senin (17/3/2025).
Ketiga pasal tersebut dikaji untuk beberapa alasan penting. Pertama, ada rencana pengaturan ulang batas usia dinas keprajuritan. Rencana ini diharapkan bisa memberikan kesempatan bagi prajurit untuk mengabdi lebih lama, sekaligus membuka jalan agar para pensiunan dapat mengisi posisi-posisi strategis di sektor sipil. Kedua, revisi ini juga memperluas keterlibatan militer aktif dalam jabatan-jabatan sipil. Hal ini menimbulkan kekhawatiran serius dari berbagai organisasi hak asasi manusia bahwa keterlibatan militer di ranah sipil dapat menimbulkan konflik kepentingan dan mengaburkan batas antara urusan sipil dan urusan militer. Terakhir, perubahan pada ketiga pasal tersebut dinilai sebagai langkah penting untuk menata ulang tatanan keprajuritan agar lebih modern dan sesuai dengan kebutuhan zaman, namun harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian agar tidak mengulangi kesalahan di masa lalu.
Pembahasan Revisi UU TNI sudah memasuki tahap intensif. Pada Jumat, 14 Maret 2025, Komisi I DPR RI menggelar rapat Panitia Kerja (Panja) RUU TNI bersama pemerintah di sebuah hotel bintang lima di kawasan Senayan, Jakarta. Rapat yang dimulai pada pukul 13.30 WIB ini dijadwalkan akan berlangsung hingga Minggu (16/03) 2025. Menurut anggota Komisi I, TB Hasanuddin, agenda pembahasan harus diselesaikan sebelum anggota DPR kembali ke daerah pemilihan pada 21 Maret.
Namun, tidak semua pihak menyambut baik proses ini. Pada Sabtu (15/03) 2025, Andrie Yunus – yang juga menjabat sebagai Wakil Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) – melancarkan protes terhadap rapat yang berlangsung secara tertutup. Dalam aksi yang cukup dramatis, tiga perwakilan dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan secara tiba-tiba memasuki ruang rapat panja untuk menyuarakan tuntutan agar pembahasan dilakukan secara terbuka dan transparan. Meskipun akhirnya mereka ditarik keluar oleh pengamanan, aksi tersebut berhasil menarik perhatian publik dan media.
Protes ini merupakan cerminan kekhawatiran bahwa Revisi UU TNI dapat mengancam tatanan demokrasi dan penegakan HAM di Indonesia. Kritik utama dari kalangan aktivis adalah bahwa rapat tertutup tidak sesuai dengan prinsip transparansi serta partisipasi publik, terutama dalam pembahasan isu yang sangat krusial seperti peran militer dalam pemerintahan. Mereka menilai bahwa setiap perubahan dalam UU TNI harus dilakukan secara terbuka agar seluruh elemen masyarakat dapat memberikan masukan dan memastikan bahwa kepentingan rakyat tidak dikorbankan.
Isu Dwifungsi ABRI selalu menjadi momok di benak masyarakat Indonesia. Pada era Orde Baru, Dwifungsi ABRI memberikan legitimasi bagi peran militer tidak hanya di bidang pertahanan, tetapi juga dalam berbagai aspek kehidupan sipil. Jika revisi Revisi UU TNI ini berhasil disahkan tanpa pengawasan yang ketat, ada potensi besar bahwa konsep dwifungsi tersebut akan kembali, terutama melalui penambahan prajurit aktif di jabatan-bjabatan sipil.
Keterlibatan militer di ranah sipil dinilai dapat mengaburkan garis pemisah antara kekuasaan sipil dan militer. Hal ini bukan saja berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, tetapi juga dapat menggeser prinsip-prinsip demokrasi dan mengurangi akuntabilitas pemerintahan. Berbagai organisasi hak asasi manusia pun mengingatkan bahwa modernisasi keprajuritan harus sejalan dengan penegakan HAM dan prinsip-prinsip demokrasi, bukan malah mengulang kesalahan masa lalu.
Selain itu, perluasan peran prajurit dalam sektor sipil bisa membuka peluang terjadinya campur tangan militer dalam pengambilan kebijakan publik. Risiko ini sangat dikhawatirkan karena dapat menurunkan kualitas tata kelola pemerintahan dan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi demokrasi.
Menghadapi berbagai pro dan kontra seputar Revisi UU TNI, ada kebutuhan mendesak untuk melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam dialog terbuka. Pemerintah dan DPR harus memastikan bahwa setiap perubahan yang diusulkan tidak hanya modernisasi administrasi keprajuritan, tetapi juga mendukung nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia. Proses pembahasan yang transparan, termasuk partisipasi publik, akan menjadi kunci agar revisi ini tidak kembali membawa bayang-bayang Dwifungsi ABRI ke dalam sistem pemerintahan.
Langkah strategis lain adalah memastikan bahwa hanya tiga pasal yang menjadi fokus pembahasan, sehingga tidak terjadi penambahan pasal lain secara sembarangan yang dapat merusak tatanan demokrasi. Seperti yang telah ditekankan oleh Sufmi Dasco Ahmad, pembahasan ketiga pasal tersebut harus dilakukan dengan cermat, menyangkut aspek-aspek fundamental seperti penambahan usia dinas keprajuritan dan perluasan peran prajurit di sektor sipil.
Revisi UU TNI merupakan isu yang sangat kompleks dan penuh dinamika. Di satu sisi, ada upaya untuk menata ulang sistem keprajuritan agar lebih modern dan adaptif dengan kebutuhan zaman. Di sisi lain, terdapat kekhawatiran bahwa perubahan ini bisa membuka jalan bagi kembalinya sistem Dwifungsi ABRI yang pernah menciptakan trauma kolektif pada era Orde Baru. Dengan lebih dari 2.500 prajurit aktif yang sudah menduduki jabatan sipil, setiap langkah revisi harus diambil dengan sangat hati-hati.
Pembahasan yang terbuka dan transparan, terutama mengenai tiga pasal inti – Pasal 3, Pasal 53, dan Pasal 47 – menjadi kunci agar proses Revisi UU TNI tidak disalahartikan dan tidak menimbulkan dampak negatif bagi tatanan demokrasi serta penegakan HAM di Indonesia. Melalui dialog konstruktif antara pemerintah, DPR, dan masyarakat, diharapkan reformasi sektor keamanan dapat berjalan inklusif dan tidak mengulangi kesalahan di masa lalu.
Dengan demikian, tantangan ke depan adalah memastikan bahwa setiap aspek reformasi ini sejalan dengan prinsip demokrasi, keadilan, dan transparansi, sehingga Indonesia tetap menjadi negara yang berdaulat dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.