Revisi Tatib! Kini DPR Bisa Copot Pejabat Lembaga Negara

Revisi Tatib Memungkinkan Dpr Bisa Mencopot Pejabat Lembaga Negara

Pada tanggal 4 Februari 2025, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara resmi mengesahkan revisi terhadap Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib), yang memungkinkan mereka untuk mencopot pejabat negara seperti Kapolri, Panglima TNI, hingga Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Keputusan ini disahkan dalam Rapat Paripurna DPR yang digelar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Perubahan yang mencakup penambahan Pasal 228 A tersebut menimbulkan banyak perdebatan di kalangan pakar hukum dan politisi. Bagaimana revisi ini mempengaruhi dinamika politik Indonesia? Apa dampaknya terhadap lembaga negara lainnya?

Revisi Tatib DPR Terbaru

Revisi yang telah disetujui oleh DPR tersebut memberikan kewenangan baru bagi lembaga legislatif untuk melakukan evaluasi berkala terhadap pejabat negara yang ditetapkan melalui uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test). Evaluasi tersebut bersifat mengikat dan disampaikan kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku.

Dengan adanya ketentuan baru ini, DPR memiliki hak untuk mencopot pejabat negara yang sudah ditetapkan, seperti Kapolri, Panglima TNI, dan Ketua KPK, jika evaluasi terhadap mereka menunjukkan hasil yang kurang memadai. Hal ini tentu menjadi senjata baru bagi DPR dalam menjalankan fungsi pengawasan dan menjaga kehormatan lembaga legislatif terhadap hasil pembahasan komisi.

Pengaruh Kewenangan Baru DPR terhadap Lembaga Negara

Pakar Hukum Tata Negara, Feri Amsari, menilai bahwa perubahan aturan ini dapat berpotensi menekan lembaga-lembaga negara tertentu. Menurutnya, kewenangan untuk memberhentikan pejabat negara seharusnya bukanlah tanggung jawab DPR, apalagi mencampuri urusan lembaga lain.

Feri menegaskan bahwa pemberhentian pejabat negara adalah wewenang yang seharusnya dipegang oleh lembaga yang memiliki kewenangan hukum dan peraturan yang jelas, bukan DPR yang berfokus pada urusan internal legislatif.

“DPR seharusnya lebih fokus pada tugas dan fungsinya dalam menjalankan fungsi legislasi dan pengawasan. Mengambil alih kewenangan lembaga lain dengan mencopot pejabat negara bukanlah langkah yang bijaksana,” ujarnya. Feri juga menambahkan bahwa perubahan ini dapat menciptakan dinamika politik yang tidak sehat dan merugikan keutuhan sistem kenegaraan Indonesia.

Sementara itu, beberapa anggota DPR dan pengamat politik berpendapat bahwa revisi ini merupakan langkah positif dalam rangka memperkuat fungsi pengawasan DPR terhadap jalannya pemerintahan. Dengan adanya kewenangan baru ini, DPR dapat memastikan bahwa pejabat yang sudah ditetapkan tetap bekerja sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan mengutamakan kepentingan negara, bukan kepentingan pribadi atau kelompok.

Potensi Penyalahgunaan Kewenangan

Meski ada argumen yang mendukung revisi ini, terdapat kekhawatiran akan potensi penyalahgunaan kewenangan oleh anggota DPR. Salah satu kritik utama yang muncul adalah kemungkinan penggunaan kewenangan ini sebagai alat untuk menekan lembaga-lembaga yang tidak sejalan dengan kebijakan DPR atau untuk kepentingan politik tertentu.

Feri Amsari menegaskan bahwa revisi ini bisa menjadi alat untuk “mempermainkan” lembaga-lembaga negara, terutama Mahkamah Konstitusi (MK), yang seringkali terlibat dalam proses pengujian konstitusionalitas kebijakan-kebijakan yang dihasilkan oleh DPR.

Dalam konteks ini, DPR bisa menggunakan kewenangan untuk mencopot pejabat negara guna mendukung agenda politiknya dan merusak independensi lembaga-lembaga negara yang memiliki peran penting dalam menjaga sistem demokrasi di Indonesia.

Lebih lanjut, revisi ini dapat memperburuk ketegangan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif, yang sejatinya harus bekerja dalam tatanan checks and balances. Dalam sistem pemerintahan demokrasi, ketiga lembaga negara tersebut memiliki fungsi masing-masing yang saling mengawasi, namun dengan kewenangan baru ini, DPR bisa saja memanfaatkan posisi mereka untuk mendominasi lembaga-lembaga lain.

Revisi Tatib Memungkinkan Dpr Bisa Mencopot Pejabat Lembaga Negara Indonesia

Revisi Tatib memungkinkan DPR bisa mencopot pejabat lembaga negara Indonesia

Evaluasi Berkala: Tanggung Jawab atau Ancaman?

Salah satu aspek utama dari revisi Tatib adalah kewajiban bagi DPR untuk melakukan evaluasi berkala terhadap pejabat negara yang ditetapkan melalui fit and proper test. Evaluasi ini akan dilakukan oleh komisi-komisi yang ada di DPR dan hasilnya akan bersifat mengikat serta disampaikan kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti.

Namun, pertanyaan besar yang muncul adalah apakah evaluasi berkala ini dapat dipertanggungjawabkan dengan adil dan objektif? Dalam praktiknya, evaluasi yang dilakukan oleh DPR harus melibatkan berbagai pihak, termasuk pihak yang diawasi, dan berdasarkan kriteria yang jelas dan terukur.

Evaluasi yang dilakukan dengan cara yang tidak transparan dan tidak berlandaskan pada prosedur yang benar justru berisiko menciptakan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi pejabat negara yang bersangkutan.

Kritik lain yang muncul adalah bagaimana DPR akan melaksanakan kewenangan ini tanpa mengganggu independensi lembaga negara lainnya. Evaluasi yang terlalu sering atau terlalu mendalam dapat menyebabkan pejabat negara merasa tertekan dan tidak mampu menjalankan tugas dengan baik, karena selalu berada dalam pengawasan ketat yang tidak selalu mencerminkan kinerja mereka secara objektif.

Implikasi Politik dan Hukum dari Revisi Tatib

Revisi Tatib ini tentu memiliki implikasi yang luas, baik dalam konteks politik, hukum, maupun hubungan antar lembaga negara. Secara politik, revisi ini dapat memperkuat posisi DPR dalam struktur pemerintahan, tetapi juga dapat menambah ketegangan dalam hubungan antara eksekutif dan legislatif.

Dari sisi hukum, revisi ini membuka peluang untuk tantangan hukum terhadap kewenangan baru yang diberikan kepada DPR, karena bertentangan dengan prinsip-prinsip pemisahan kekuasaan yang telah diatur dalam konstitusi Indonesia.

Lebih jauh lagi, revisi ini dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga DPR. Jika DPR tidak dapat menunjukkan bahwa revisi ini dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan berdasarkan pada prinsip-prinsip hukum yang jelas, maka keputusan ini bisa berbalik merugikan mereka dalam jangka panjang.

Revisi Tata Tertib DPR yang memberikan kewenangan untuk mencopot pejabat negara memang memberikan DPR alat baru untuk meningkatkan pengawasan terhadap lembaga negara. Namun, revisi ini juga membuka potensi penyalahgunaan kekuasaan dan dapat memengaruhi hubungan antar lembaga negara secara negatif.

Dengan kewenangan baru ini, DPR harus berhati-hati dalam mengimplementasikannya, memastikan bahwa evaluasi dilakukan dengan objektif, adil, dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Pemerintah dan masyarakat perlu memantau dengan seksama pelaksanaan kewenangan ini agar tidak mengarah pada praktik politik yang tidak sehat dan merugikan sistem kenegaraan Indonesia. (WAN)