Categories: Berita Hiburan

Review Film Sore: Istri dari Masa Depan, Karya Romansa Waktu Penuh Emosi

KLIKBERITA24.COM - Film Sore: Istri dari Masa Depan sukses meninggalkan jejak emosi mendalam yang membekas dalam benak. Perasaan yang timbul dari film ini sangat kuat, namun tak mudah diuraikan dengan kata-kata.

Film ini dapat disebut sebagai karya Yandy Laurens dengan ruang interpretasi terluas yang pernah ia hadirkan ke layar lebar, baik dari segi cerita maupun eksekusi visualnya.

Sebagai penggemar serial Sore: Istri dari Masa Depan (2017), rasa antusias langsung muncul ketika proyek ini diumumkan akan diadaptasi menjadi film penuh. Keputusan tersebut tentu menarik perhatian penikmat karya Yandy Laurens sebelumnya.

Terlebih, Yandy sudah membuktikan kemampuannya dalam menggarap film adaptasi lewat Keluarga Cemara (2019) dan 1 Kakak 7 Ponakan (2025), yang keduanya mendapat sambutan positif.

Yandy juga dikenal lewat karya sukses Jatuh Cinta Seperti di Film-Film (2023) yang meraih tujuh Piala Citra, menjadikan reputasinya sebagai sutradara papan atas semakin kokoh.

Keyakinan bahwa film ini akan berhasil pun terjawab sejak adegan pembuka. Produksi Sore: Istri dari Masa Depan hadir dalam kualitas sinematografi yang jauh lebih matang dari versi serialnya.

Perbedaan mencolok terlihat dari aktris yang memerankan Sore. Kali ini, karakter tersebut dimainkan oleh Sheila Dara Aisha, peraih Piala Citra yang dipercaya menggantikan Tika Bravani.

Perubahan juga terjadi pada latar lokasi. Jika dalam serial sebelumnya berlatar Petrioli dan Ponza di Italia, versi film menampilkan Grožnjan dan Zagreb di Kroasia, serta beberapa adegan tambahan di Finlandia dan Indonesia.

Produksi Sore: Istri dari Masa Depan hadir dalam kualitas sinematografi yang jauh lebih matang dari versi serialnya

Meski terdapat sejumlah perubahan, inti cerita tetap terasa akrab. Jonathan, yang diperankan Dion Wiyoko, masih menunjukkan keterkejutan saat bertemu dengan perempuan asing yang tiba-tiba mengaku sebagai istrinya dari masa depan.

Lagu-lagu seperti Forget Jakarta dan Gaze dari Adhitia Sofyan juga kembali hadir, menciptakan nuansa nostalgia seperti yang ditawarkan serial delapan tahun lalu.

Namun, nuansa ceria dari Sore perlahan memudar ketika kebenaran besar di balik kehadirannya terbongkar. Saat lagu Pancarona dari Barasuara diputar, atmosfer cerita berubah drastis.

“Kesunyian melagukan kerinduan. Kesepian, melankolia.”

Momen tersebut memunculkan satu kata dari benak saya: Gila. Kata itu menggambarkan dengan tepat transisi mendalam yang terjadi dalam film.

Di balik keceriaan Sore, ternyata tersembunyi rasa rindu yang menembus ruang dan waktu. Emosi tersebut bahkan lebih tepat disebut sebagai longing atau yearning, karena intensitas perasaannya begitu kuat.

Dorongan emosi itulah yang membuat Sore rela menembus masa lalu demi mengubah nasib Jonathan. Dari sini, cerita mulai bermain dengan konsep time loop yang dieksekusi secara tak terduga.

Penggambaran bagian ini terasa sangat puitis berkat ketajaman Yandy dalam menangkap nuansa adegan secara emosional dan sinematik.

Kekuatan film ini terletak pula pada performa Sheila Dara. Ia mampu menyelami setiap dimensi emosi karakter Sore secara mendalam, memperlihatkan akting monumental dalam kariernya.

Karakter Sore memang bukan peran yang mudah, mengingat kompleksitas emosinya begitu surreal. Namun, Sheila berhasil menghadirkan semuanya secara nyata di layar.

“Peran Sore diemban Sheila Dara Aisha, pemenang Piala Citra yang terpilih menjadi suksesor Tika Bravani.” (Cerita Films)

Dion Wiyoko juga tampil maksimal. Ia mampu menghadirkan karakter Jonathan versi film dengan lebih dewasa dan matang secara emosional.

Keindahan visual yang disuguhkan turut menunjang kualitas cerita. Lanskap Kroasia dan Finlandia tertangkap apik berkat sentuhan sinematografi yang kuat.

Komitmen tinggi juga terlihat dari departemen lain seperti musik, kostum, hingga pemilihan aktor-aktor Eropa. Tidak ada yang terasa asal-asalan, semuanya dipilih dengan pertimbangan matang.

Kehadiran Goran Bogdan sebagai Karlo menjadi salah satu elemen penyegar. Perannya bukan sekadar pemanis, tetapi mampu menguatkan nuansa latar dan pengembangan narasi.

“Saya juga salut dengan kejelian Yandy dan produser Suryana Paramita yang menggaet Goran Bogdan. Ia memberikan nuansa baru sebagai Karlo, bukan hanya pemanis untuk menunjang kesesuaian latar saja.”

Meski begitu, penggunaan konsep time loop yang terlalu intens membawa risiko tersendiri. Beberapa adegan terasa repetitif dan berpotensi membuat penonton kehilangan fokus.

Namun, bagian ini penting untuk memperlihatkan keteguhan hati Sore yang terus mengulang waktu demi Jonathan. Penonton pun dituntut memiliki kesabaran serupa untuk menyelami makna di balik tiap pengulangan.

Yandy juga menetapkan logika perjalanan waktu versinya sendiri. Meskipun bisa menjadi bahan diskusi, konsep tersebut tetap bisa dipahami sebagai alat pencerita yang efektif.

Pengorbanan penonton dalam menyimak alur yang kompleks akan terbayar lunas pada klimaks. Film ini kembali menyuguhkan kejutan luar biasa di bagian akhir.

Lagu Terbuang Dalam Waktu dari Barasuara menjadi latar emosional puncak. Musik tersebut mengalun dengan intensitas tinggi, selaras dengan klimaks perjalanan cinta Sore dan Jonathan.

Di momen ini, penonton disuguhkan ledakan emosi yang begitu kuat dan sulit dilukiskan. Sebuah akhir yang menyentuh, sekaligus tak terlupakan.

Namun di balik semua gejolak perjalanan waktu, Yandy tetap mempertahankan pesan inti dari Sore: Istri dari Masa Depan, yaitu tentang penerimaan. Nilai ini tetap dijaga sejak versi serial hingga layar lebar.

Kesetiaan terhadap pesan tersebut menjadikan film ini terasa sangat personal, bahkan bagi penonton dengan latar pengalaman berbeda.

Saya percaya bahwa Sore: Istri dari Masa Depan telah menjadi tonggak penting dalam sejarah film romansa Indonesia. Sebuah penanda bahwa genre ini bisa melampaui batasan yang selama ini ada.

“Saya juga meyakini Sore telah menjadi karya monumental dalam industri film Indonesia. Ia seperti penanda jejak bahwa film romansa di negara ini bisa mencapai level berbeda yang belum pernah terjadi sebelumnya.” (WAN)