Review Film Hotel Sakura: Horor Jepang Rasa Lokal, Seramnya Bikin Merinding

Hotel sakura hadir membangkitkan kembali gaya horor jepang era 1990 an, dipadukan dengan setting dan nuansa lokal khas indonesia.

KLIKBERITA24.COM - Industri film horor tanah air tengah diramaikan banyak judul dengan nuansa mistik tradisional. Namun, Hotel Sakura hadir membawa angin segar. Film ini mencoba membangkitkan kembali gaya horor Jepang era 1990-an, dipadukan dengan setting dan nuansa lokal khas Indonesia.

Meski ide segar ini terlihat menjanjikan, eksekusinya ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Film garapan Krishto D Alam ini harus menghadapi tantangan besar dalam menyelaraskan dua kultur cerita yang berbeda.

“Hotel Sakura mengisahkan perjalanan dua kawan saat mencoba menginap di sebuah hotel kuno dan berhantu.”

Upi Avianto dan Ian Adiwibowo sebagai penulis naskah, bersama Krishto yang duduk di kursi sutradara, berusaha mengawinkan elemen horor Jepang dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Sebuah ide brilian, namun penuh jebakan.

“Saya bisa bilang Hotel Sakura berhasil pada satu sisi, tapi juga lemah pada sisi yang lain.”

Dalam beberapa bagian, atmosfer horor di film ini terasa kental. Upi dan Ian tidak hanya menyuguhkan jumpscare, namun juga membangun tensi lewat pendekatan psikologis.

“Upi dan Ian mampu membuat alur film horor yang cukup creepy dengan mengombinasikan thriller psikologis di dalamnya.”

Krishto tampak mampu menangkap imaji horor lewat cara yang natural. Ia tidak terjebak gaya horor lokal masa kini yang cenderung berlebihan.

“Apalagi sutradara Krishto yang melanjutkan pekerjaan Rudy Soedjarwo dalam film ini berhasil merekam momen-momen tersebut dan membuatnya sebisa mungkin terlihat natural.”

Tim produksi bekerja cermat dalam menampilkan penampakan hantu secara halus, seperti sosok melintas di cermin, bayangan di atas lemari, atau sosok samar di kejauhan. Semua ditampilkan senatural mungkin.

“Saya suka akan kerja sama tim penulis, sutradara, serta DoP Arfian di film ini dalam mengemas penampakan umum.”

Gaya penceritaan dan atmosfer film mengingatkan pada era film horor awal 2000 an seperti jelangkung dan pocong

Gaya penceritaan dan atmosfer film mengingatkan pada era film horor awal 2000-an seperti Jelangkung dan Pocong

Gaya penceritaan dan atmosfer film mengingatkan pada era film horor awal 2000-an seperti Jelangkung dan Pocong. Bukan karena efek spesial atau penampakan ekstrem, melainkan karena suasana yang dibangun perlahan.

“Suasana itu yang sudah pudar pada industri horor saat ini, ketika mulai didominasi oleh kultur tertentu, dan gaya cerita hingga penampakan yang serupa.”

Penonton disuguhkan ketegangan yang datang dari hal-hal tidak pasti. Aura ketakutan muncul dari imajinasi, bukan sekadar efek kejut.

Keberhasilan film ini juga terletak pada kerja keras tim tata rias dan wardrobe. Detail dalam make-up, khususnya untuk karakter Setsuko dan makhluk-makhluk lainnya, terasa hidup dan menakutkan.

“Saya cukup terkesan dengan hasil kerja keras tim tata rias dan wardrobe dari Hotel Sakura.”

Salah satu adegan terbaik adalah saat penemuan di kamar nomor 8. Kombinasi tata cahaya, kamera, dan make-up menghasilkan momen yang paling mengesankan.

“Namun yang membuat saya kagum adalah hasil riasan untuk adegan penemuan di kamar nomor 8.”

Namun, film ini juga punya kelemahan yang cukup mencolok, terutama di paruh awal. Percakapan terasa tidak mengalir, dan beberapa akting pemain terlihat kurang natural.

“Salah satu yang paling terasa adalah percakapan dan perjalanan cerita pada paruh pertama film berjalan.”

Interaksi antara Clara Bernadeth dan Taskya Namya masih kaku. Bahkan beberapa kemunculan karakter seperti Randy Martin dan Tessa Kaunang terasa tidak kontributif.

Untungnya, saat cerita mulai masuk ke konflik utama, hubungan antara dua pemeran utama mulai mengalir. Taskya berhasil mencuri perhatian lewat karakter Nida yang lebih luwes.

“Meskipun, saya melihat Taskya lebih luwes dalam menyampaikan karakter Nida yang sayangnya tak bisa diimbangi oleh Clara sebagai Sarah.”

Taskya justru menjadi scene stealer di tengah Clara yang sebenarnya menjadi pusat cerita. Ia membawa dinamika yang lebih hidup pada babak kedua film.

Sayangnya, beberapa efek visual justru dirasa berlebihan dan mengurangi keaslian atmosfer. Sosok Setsuko yang seharusnya mengintimidasi malah sedikit terganggu oleh tambahan efek tersebut.

“Saya merasa bahwa efek visual pada sosok Setsuko sebenarnya tidak diperlukan.”

Padahal, kekuatan film ini ada pada suasana yang dibangun perlahan dan realistis.

Dua aktor senior ini memberikan sentuhan horor yang berbeda. Mereka tidak perlu banyak dialog, hanya dengan gestur dan tatapan saja, penonton dibuat tidak nyaman.

“Kehororan dua aktor ini justru bukan datang dari dialog ataupun penampilan mereka, tetapi dari cara gestur serta tatapan.”

Kemunculan mereka menjadi elemen horor tambahan, selain bangunan hotel dan makhluk-makhluk halus.

Secara keseluruhan, Hotel Sakura memiliki ide besar yang dieksekusi dengan cukup hati-hati. Walau tidak sempurna, film ini berhasil menghidupkan kembali gaya horor era ’90-an dengan pendekatan lokal yang menyegarkan.

“Yang jelas, Krishto, Upi, dan Ian tak akan bisa membuat puas semua penonton dengan proyek reinkarnasi horor Jepang dekade ’90-an ini, tapi setidaknya mereka membuat saya berharap bisa terbangun dari tidur bukan dalam sebuah loop.”

Paruh kedua film terasa lebih matang dan solid dibanding bagian awal. Bagi penonton yang rindu horor dengan tensi pelan tapi memikat, film ini layak untuk disaksikan. (WAN)