Donald Trump sedang pertimbangkan penurunan tarif impor China hingga 65% untuk redakan ketegangan perang dagang
Pemerintahan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, dikabarkan sedang mempertimbangkan langkah baru terkait kebijakan tarif impor China. Opsi yang tengah dibahas adalah penurunan tarif menjadi sekitar 65% sambil menunggu kelanjutan dialog dagang dengan Beijing.
Kabar ini mencuat usai laporan Wall Street Journal menyebutkan bahwa Gedung Putih berencana menurunkan tarif sebagai upaya meredakan ketegangan perdagangan yang tengah terjadi. Berdasarkan sumber yang dilansir Reuters pada Kamis, 24 April 2025, seorang pejabat mengatakan tarif terhadap barang China bisa turun dari level saat ini, yaitu 145%, menjadi kisaran 50% hingga 65%.
Langkah ini dinilai sebagai strategi untuk membuka kembali jalur komunikasi yang produktif antara dua ekonomi terbesar di dunia. Presiden Trump menyampaikan keinginannya untuk meraih kesepakatan yang adil dengan pihak China.
Pernyataan itu ia sampaikan kepada wartawan pada Rabu, 23 April 2025, tanpa secara langsung mengonfirmasi laporan Wall Street Journal. Namun sehari sebelumnya, Trump sempat menyuarakan optimisme bahwa kesepakatan dagang masih sangat memungkinkan untuk dicapai.
Sementara itu, juru bicara Gedung Putih, Kush Desai, menegaskan bahwa informasi apa pun terkait tarif hanya valid jika disampaikan langsung oleh Presiden. Ia menyebut laporan yang beredar sebagai spekulasi yang belum tentu mencerminkan kebijakan resmi pemerintah AS.
Meskipun kemungkinan penurunan tarif dibahas, angka yang disebutkan masih tergolong tinggi dan dinilai cukup untuk membatasi arus perdagangan antarnegara. Contohnya, perusahaan pelayaran Jerman, Hapag-Lloyd, mengungkapkan bahwa 30% pengiriman mereka dari China ke Amerika Serikat telah dibatalkan.
China pun telah merespons kebijakan perdagangan AS dengan menetapkan tarif balasan sebesar 125% terhadap berbagai produk asal Amerika. Tak hanya itu, Beijing juga mengambil langkah tambahan dalam bentuk kebijakan non-tarif untuk mengimbangi tekanan dari Washington.
Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, mengakui bahwa situasi tarif saat ini tidak dapat dipertahankan dalam jangka panjang. Namun, ia belum bisa memastikan kapan proses negosiasi konkret antara kedua negara akan dimulai.
Selain isu perdagangan, pembicaraan terpisah juga dilakukan terkait penanganan krisis fentanil yang merebak. Sayangnya, menurut sumber yang mengetahui jalannya diskusi, belum ada hasil signifikan dari pertemuan tersebut.
Wall Street Journal juga menyebut bahwa pembahasan tarif masih bersifat fleksibel dan sejumlah opsi alternatif sedang dipertimbangkan. Salah satunya adalah model bertahap seperti yang pernah diusulkan oleh komite DPR AS tentang China pada akhir tahun lalu.
Dalam proposal tersebut, tarif sebesar 35% akan dikenakan untuk produk yang dianggap tidak berdampak pada keamanan nasional AS. Sedangkan barang-barang strategis yang menyangkut kepentingan nasional bisa dikenai tarif minimal 100%.
Usulan dalam bentuk RUU itu juga mencakup penerapan tarif secara bertahap selama lima tahun mendatang. Langkah ini bertujuan untuk memberikan ruang adaptasi bagi pelaku usaha dan menjaga stabilitas ekonomi domestik.
Di luar ketegangan dengan China, Presiden Trump juga telah menerapkan kebijakan tarif yang lebih luas. Ia menetapkan bea masuk sebesar 10% untuk hampir semua produk impor ke Amerika Serikat, termasuk peningkatan tarif terhadap baja, aluminium, dan kendaraan bermotor.
Selain itu, Trump juga menjatuhkan tarif tambahan terhadap sektor-sektor penting seperti farmasi dan semikonduktor. Tarif-tarif ini berlaku terhadap negara-negara tertentu, dengan beberapa di antaranya ditangguhkan hingga 9 Juli 2025.
Kebijakan proteksionis ini menimbulkan gejolak di pasar keuangan global. Banyak pelaku pasar khawatir bahwa konflik dagang berkepanjangan bisa memicu resesi global.
Dana Moneter Internasional (IMF) juga telah memberikan peringatan serius terkait dampak dari kebijakan tarif tinggi ini. Menurut IMF, pertumbuhan ekonomi dunia bisa melambat, sementara tekanan terhadap utang negara akan meningkat tajam.
Para analis menilai bahwa langkah pemerintah AS dalam mengelola tarif perlu dikaji ulang dengan cermat. Fokus utama sebaiknya tetap pada stabilitas ekonomi jangka panjang dan pemulihan hubungan dagang yang saling menguntungkan.
Di tengah banyaknya spekulasi, pasar saat ini menunggu langkah kebijakan dagang Trump selanjutnya. Ketegangan dagang antara AS dan China masih menjadi sorotan utama dalam dinamika ekonomi global saat ini. (dda)