Rencana Presiden Prabowo yang ingin memindahkan 1.000 warga Gaza ke Indonesia mendapat respons penolakan dari tokoh-tokoh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Rencana pemerintah Indonesia yang ingin memindahkan 1.000 warga Gaza ke tanah air memicu respons tajam dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dua tokoh senior di lembaga tersebut mengungkapkan kekhawatiran bahwa kebijakan ini justru bisa memperkuat upaya pengosongan wilayah oleh Israel dan sekutunya.
Langkah evakuasi tersebut dinilai menguntungkan pihak yang selama ini mengupayakan dominasi wilayah Palestina. Alih-alih membantu, keputusan ini justru berpotensi mendukung misi jangka panjang yang mengarah pada penguasaan total atas Gaza.
Salah satu suara paling vokal datang dari Wakil Ketua Umum MUI, Buya Anwar Abbas. Ia mempertanyakan mengapa Indonesia terlibat dalam rencana yang dianggap sejalan dengan gagasan lama yang pernah digaungkan oleh pemimpin Amerika Serikat terdahulu.
Menurutnya, langkah ini tampak seolah humanis, tetapi dalam praktiknya dapat menjadi bagian dari strategi untuk merampas wilayah Palestina. Ia menyatakan bahwa rencana seperti ini sejalan dengan kepentingan luar negeri yang ingin mengosongkan Gaza dari penduduk aslinya.
Dalam pernyataannya kepada media, Buya Anwar menekankan bahwa Indonesia seharusnya berpihak pada keadilan dan kedaulatan rakyat Palestina. Ia merasa bahwa membantu warga Gaza bukan berarti memindahkan mereka jauh dari tanah kelahiran.
Ia juga memberikan contoh bagaimana Yerusalem dulunya merupakan kota milik bangsa Palestina yang akhirnya jatuh ke tangan pihak lain. Ia menyebut peristiwa itu sebagai peringatan agar tidak mengulangi kesalahan yang sama dengan cara yang berbeda.
Menurutnya, jika penduduk asli Gaza dipindahkan, maka akan membuka peluang besar bagi pihak asing untuk menancapkan pengaruh dan memperluas pemukiman ilegal. Dengan begitu, perjuangan rakyat Palestina untuk mempertahankan wilayahnya akan semakin berat.
Buya Anwar juga menyoroti kunjungan Presiden Prabowo ke lima negara Timur Tengah. Ia menilai bahwa kelima negara tersebut memiliki catatan kerja sama atau hubungan terbuka dengan pihak Israel, baik secara politik maupun ekonomi.
Tokoh senior MUI, Buya Anwar menegaskan tolak pemindahan warga Gaza ke Indonesia
Berdasarkan hal tersebut, ia menyarankan agar dukungan untuk masyarakat Gaza disalurkan melalui cara yang lebih tepat. Ia menilai bahwa bantuan kesehatan dan kemanusiaan idealnya diberikan langsung di lokasi konflik, bukan dengan memindahkan korban ke luar negeri.
“Kita sebagai bangsa yang pernah mengalami penjajahan harus peka terhadap segala bentuk tipu muslihat,” tuturnya tegas. Ia menambahkan bahwa niat baik tanpa pertimbangan matang bisa dimanfaatkan oleh kekuatan asing untuk melancarkan tujuan terselubung.
Nada serupa juga disampaikan oleh Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Cholil Nafis. Dalam unggahan di media sosial, ia mengungkapkan bahwa masalah utama bukan pada kondisi rakyat Gaza, melainkan agresi yang terus dilakukan oleh Israel.
Ia menegaskan bahwa yang perlu dihentikan bukan keberadaan warga sipil di Gaza, melainkan serangan yang tak henti dari pihak militer Israel. Menurutnya, jika evakuasi dilakukan, maka justru memperlemah posisi rakyat Palestina dalam mempertahankan haknya.
Ia mempertanyakan, siapa yang bisa menjamin para pengungsi itu dapat kembali ke Gaza di kemudian hari. Pengalaman menunjukkan bahwa banyak pengungsi Palestina sebelumnya hingga kini tak kunjung bisa kembali ke kampung halamannya.
Dengan memindahkan penduduk asli dari tanahnya, maka kekuatan penjajah akan lebih mudah memperluas kendali wilayah. Cholil menilai bahwa tindakan ini dapat membuka jalan bagi Israel untuk mengklaim lebih banyak lahan kosong.
Sebagai bentuk dukungan nyata, ia mendorong agar pelayanan medis dan bantuan logistik disalurkan melalui jalur perbatasan yang tersedia. Ia menekankan pentingnya membangun rumah sakit darurat atau fasilitas kesehatan di sekitar lokasi konflik.
Ia juga mengajak seluruh elemen bangsa untuk tidak larut dalam narasi kemanusiaan yang menyesatkan. Solidaritas, menurutnya, harus didasarkan pada strategi yang tidak memberi keuntungan kepada pihak penjajah.
Cholil juga mengingatkan bahwa semakin luas wilayah Palestina yang dikosongkan, semakin besar peluang Israel memperluas pengaruhnya. Ia menyarankan agar bentuk dukungan kepada Palestina tidak justru menjadi alat pendukung penjajahan.
Ia menyampaikan keprihatinan terhadap banyaknya wilayah Palestina yang secara perlahan dikuasai melalui skema diplomasi atau pemindahan penduduk. Ia mendorong agar Indonesia bersikap tegas dan tidak menjadi bagian dari agenda global yang merugikan Palestina.
“Sebagai umat yang memiliki kepedulian, kita harus hadir dengan cara yang tepat,” katanya. Ia menambahkan bahwa empati tidak boleh mengaburkan analisa terhadap kepentingan geopolitik yang tersembunyi.
Ia juga menyoroti bahwa banyak negara dunia ketiga sering dijadikan alat untuk menjalankan strategi kekuatan besar. Karena itu, penting bagi Indonesia untuk bersikap independen dan tidak mudah terpengaruh oleh narasi yang dibungkus bantuan kemanusiaan.
Bentuk bantuan yang ideal menurutnya adalah yang memberdayakan masyarakat Gaza di tempat asal mereka. Evakuasi dalam skala besar hanya akan membuat mereka semakin terpisah dari tanah kelahiran dan sejarah panjang perlawanan.
Wacana evakuasi besar-besaran warga Gaza oleh pemerintah Indonesia menuai kritik tajam dari berbagai pihak, terutama tokoh-tokoh agama. Mereka mengingatkan bahwa bantuan harus diberikan dengan cara yang mempertahankan hak rakyat Palestina atas tanah mereka.
Meskipun dilakukan atas dasar kemanusiaan, tindakan yang tidak mempertimbangkan dampak jangka panjang bisa menjadi alat tak langsung bagi kekuatan penjajah. Dukungan terhadap Palestina seharusnya memperkuat perjuangan, bukan malah melemahkan posisi mereka dalam konflik yang belum berakhir. (dda)