Perceraian Andre Taulany dan Erin Memanas, Anak Diduga Dijadikan Saksi

Sidang cerai Andre dan Erin pada 4 Agustus 2025 kembali menjadi perhatian setelah dua anak diduga akan dijadikan saksi
KLIKBERITA24.COM - Andre Taulany, publik figur yang dikenal sebagai komedian sekaligus musisi tanah air, kembali mencuatkan sorotan publik usai menggugat cerai sang istri, Erin Taulany, pada Senin, 4 Agustus 2025.
Ini bukan kali pertama Andre mengajukan gugatan cerai terhadap Erin, nama lengkap Rien Wartia Trigina, setelah pernikahan mereka yang telah terjalin selama hampir dua dekade.
Diketahui, Andre dan Erin resmi menikah pada 17 Desember 2005.
Dari pernikahan tersebut, keduanya dikaruniai tiga orang anak: Ardio Raihansyah Taulany yang lahir pada 2006, Arkenzy Salmansyah Taulany pada 2009, dan Arlova Carissa Taulany yang lahir tahun 2011.
Gugatan cerai pertama diajukan Andre Taulany pada April 2024, tepat setelah 19 tahun membina rumah tangga.
Namun, gugatan tersebut sempat ditolak oleh Pengadilan Agama lantaran kurangnya alat bukti yang sah secara hukum dan belum adanya kehadiran saksi yang relevan.
Kini, drama rumah tangga keduanya memasuki babak baru yang tak kalah menguras perhatian.
Sidang Cerai 4 Agustus 2025: Erin Bawa Anak Jadi Saksi, Andre Menolak

Perdebatan soal anak sebagai saksi dalam perceraian menimbulkan kekhawatiran akan dampak psikologis bagi anak-anak
Dalam sidang lanjutan yang digelar pada Senin, 4 Agustus 2025, di tengah suasana yang kian memanas, Erin Taulany hadir dengan dua putranya.
Langkah ini menimbulkan kontroversi karena keduanya diduga akan dijadikan saksi dalam proses hukum perceraian tersebut. Andre Taulany, di sisi lain, menyatakan penolakannya secara terbuka.
Menurutnya, melibatkan anak-anak dalam proses hukum perceraian merupakan hal yang keliru dan berpotensi membebani kondisi psikologis mereka.
Dengan suara tegas dan penuh emosi, Andre menyampaikan penolakannya kepada awak media.
“Anak-anak saya tolak, nggak boleh ikutan dalam persoalan ini!”
Pernyataan itu menjadi penegasan bahwa dirinya berkomitmen menjaga anak-anak dari dampak konflik yang lebih luas.
Ia juga menambahkan bahwa sebagai ayah, melindungi anak dari tekanan psikologis akibat persidangan adalah tanggung jawab moral yang harus dipegang teguh.
Aturan Hukum: Bolehkah Anak Jadi Saksi Perceraian Orang Tua?
Isu mengenai anak dijadikan saksi dalam perkara cerai orang tua memang kerap menuai pro dan kontra.
Secara hukum, hal ini diatur dalam Pasal 145 HIR atau 172 Rbg yang menyatakan bahwa anak berusia minimal 15 tahun dan belum dikategorikan dewasa dapat dijadikan saksi, asalkan disumpah di bawah hukum.
Di sisi lain, Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak memberikan ruang bahwa anak di bawah usia 18 tahun tetap dimungkinkan menjadi saksi.
Namun, prinsip utama yang ditekankan adalah perlindungan terhadap kondisi psikis anak agar tidak mengalami tekanan berlebihan selama proses berlangsung.
Sementara itu, pihak pengadilan tetap harus mempertimbangkan apakah kesaksian anak berpotensi memicu konflik batin atau keberpihakan yang dapat meretakkan hubungan kekeluargaan lebih jauh.
Terlebih, hubungan darah yang terlalu dekat antara saksi dan pihak-pihak yang bersengketa kerap dianggap dapat memengaruhi objektivitas kesaksian.
Dampak Psikologis dan Etika Melibatkan Anak dalam Perceraian
Ketika anak diminta menjadi saksi dalam perkara perceraian orang tuanya, hal ini tidak hanya berdampak secara hukum, tetapi juga secara emosional.
Anak bisa merasa terjebak dalam situasi sulit yang memaksanya memilih salah satu pihak.
Situasi ini, jika tidak ditangani dengan pendekatan psikologis yang tepat, bisa meninggalkan luka batin berkepanjangan yang memengaruhi tumbuh kembang dan hubungan sosial mereka di masa depan.
Sebagai figur publik, keputusan Erin dan Andre dalam menempatkan anak-anak mereka di tengah polemik perceraian tentu menuai reaksi dari berbagai pihak.
Baik dari sisi publik, pegiat perlindungan anak, maupun pemerhati hukum keluarga.
Konflik Semakin Kompleks, Masa Depan Anak Jadi Taruhan
Perceraian Andre Taulany dan Erin kini memasuki fase yang lebih kompleks.
Ketegangan antara dua pihak tidak lagi hanya menyangkut masalah pribadi suami-istri, melainkan juga membawa dampak pada anak-anak mereka.
Dengan adanya perbedaan pandangan mengenai keterlibatan anak sebagai saksi, keduanya kini dihadapkan pada dilema moral dan hukum.
Publik mempertanyakan, apakah proses hukum ini akan tetap berjalan dengan mengedepankan fakta hukum, atau akan berpindah fokus pada perlindungan hak anak yang seharusnya menjadi prioritas utama.
Apapun langkah selanjutnya, semua pihak berharap agar keputusan yang diambil bisa mempertimbangkan kesejahteraan anak sebagai hal yang paling utama.
Konflik rumah tangga adalah bagian dari dinamika kehidupan, namun ketika melibatkan anak dalam perceraian, itu adalah keputusan yang perlu ditinjau dengan sangat hati-hati.
Kasus perceraian Andre Taulany dan Erin menjadi refleksi bahwa dalam setiap pertikaian, ada pihak ketiga yang tak bersalah namun ikut menanggung akibatnya.
Apakah langkah hukum berikutnya akan tetap melibatkan anak sebagai saksi?
Ataukah ada jalan keluar lain yang lebih berorientasi pada perlindungan psikologis dan masa depan mereka? Waktu dan putusan pengadilan akan menjawab semuanya.(taa)