Perang Dagang AS vs China Kian Memanas, Dunia Terancam Resesi

Perang dagang AS vs China kini semakin panas.
Ketegangan ekonomi antara dua raksasa dunia, Amerika Serikat dan China, kembali mencuat dan menjadi pusat perhatian global.
Di tahun 2025, Presiden AS Donald Trump kembali menerapkan kebijakan tarif impor tinggi terhadap berbagai produk asal China, serta negara lainnya seperti Meksiko, Vietnam, bahkan termasuk Indonesia.
Kebijakan ini dinilai sebagai bentuk proteksi ekonomi demi memperkuat industri dalam negeri AS.
Namun, langkah tersebut juga memicu respons keras dari pemerintah China yang tidak tinggal diam.
Dalam waktu singkat, hubungan dagang kedua negara memburuk dan ketegangan menyebar ke berbagai sektor industri di seluruh dunia.
Situasi perang dagang antara AS dan China yang semakin memanas menciptakan ketidakpastian yang tinggi di pasar global.
Investor cemas, produsen terhambat, dan rantai pasok dunia mengalami guncangan.
Bahkan, lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia sudah mengeluarkan peringatan bahwa konflik ini dapat berujung pada resesi global.
Tentunya, kondisi ini cukup mengkhawatirkan, terlebih bagi Indonesia sebagai sektor ekspor yang cukup tinggi.
Perang Dagang yang Tak Kunjung Usai
Perang dagang antara Amerika Serikat dan China sebenarnya telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir, dengan akar masalah yang cukup kompleks.
Pada awalnya, pemerintah AS menuduh China melakukan praktik perdagangan tidak adil, termasuk pencurian hak kekayaan intelektual, subsidi berlebihan kepada perusahaan dalam negeri, serta manipulasi nilai tukar mata uang.
Sebagai respons, pada tahun 2018 pemerintahan Trump mulai mengenakan tarif tinggi terhadap barang-barang asal China senilai lebih dari USD 250 miliar.
Namun setelah sempat mereda pada masa pemerintahan Joe Biden, perang dagang kembali memanas di tahun 2025.
AS kembali menerapkan tarif tambahan terhadap produk-produk teknologi, kendaraan listrik, hingga peralatan industri yang berasal dari China.
Pemerintah Trump mengklaim bahwa langkah ini dilakukan untuk “melindungi pekerja AS dan menghentikan praktik predator ekonomi”.
Donald Trump menetapkan tarif resiprokal untuk China sebesar 34%, di mana angka tersebut tergolong besar.
Kemudian, China merespons dengan menerapkan tarif balasan untuk produk-produk AS sebesar 34%.
Namun, Trump mengancam akan menambahkan tarif sebesar 50% terhadap produk asal China jika tidak mencabut tarif balasannya.
Ancaman Trump tidak digubris oleh negara Tirai Bambu tersebut. Akhirnya, Trump memutuskan untuk mengenakan tarif tambahan 50% usai China tidak menarik tarif balasan pada produk AS.

Presiden AS Donald Trump menambahkan tarif impor untuk China sebesar 104%.
Presiden AS Donald Trump bahkan menambahkan bea masuk sebesar 84%, sehingga kini tarif impor untuk China sebesar 104%, jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara lainnya.
Ketegangan antara AS dan China tidak hanya berdampak pada kedua negara tersebut saja, tetapi juga berimbas ke negara-negara lain yang memiliki hubungan dagang dengan mereka.
Dampak Langsung pada Ekonomi Global
Dampak dari perang dagang ini tidak bisa dianggap remeh. Beberapa konsekuensi nyata mulai terlihat di berbagai sektor dan negara, di antaranya sebagai berikut.
1. Penurunan Volume Perdagangan Global
Perang tarif menyebabkan menurunnya permintaan lintas negara. Data terbaru dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menunjukkan bahwa pertumbuhan volume perdagangan global anjlok dari 3,2% menjadi 1,7% pada kuartal pertama tahun 2025.
Penurunan ini membuat banyak negara eksportir, termasuk Indonesia, mulai kesulitan mempertahankan pertumbuhan ekonomi.
2. Gangguan pada Rantai Pasok
Banyak produsen global yang bergantung pada komponen dari China atau AS mengalami lonjakan biaya produksi.
Perusahaan di sektor teknologi, otomotif, dan manufaktur terpaksa menunda produksi atau memindahkan fasilitasnya ke negara lain.
Hal ini tidak hanya meningkatkan biaya, tetapi juga menciptakan ketidakpastian.
3. Kekhawatiran Investor dan Penurunan Pasar Saham
Ketidakpastian membuat pasar finansial terguncang. Indeks saham utama seperti Dow Jones, S&P 500, Nikkei, dan Hang Seng mencatat penurunan tajam sejak awal 2025.
Investor global beralih ke aset-aset aman seperti emas, obligasi pemerintah, dan mata uang stabil, seperti Franc Swiss.
Nasib Dunia Terancam Resesi
International Monetary Fund (IMF) dan World Bank menyatakan bahwa eskalasi perang dagang ini memiliki potensi besar untuk memicu resesi global.
Kedua institusi memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia akan melambat hingga di bawah 2,5%, sebuah angka yang mendekati ambang batas teknis menuju resesi.
Kekhawatiran ini juga mencuat di kalangan pelaku usaha dan analis ekonomi. Adanya tambahan tekanan dari konflik dagang hanya akan memperburuk situasi ekonomi global.
Perekonomian negara-negara berkembang sangat rentan, terutama yang bergantung pada ekspor komoditas dan investasi asing.
Perang dagang antara AS dan China bukan hanya konflik bilateral, melainkan persoalan global yang mengancam pertumbuhan dan stabilitas ekonomi dunia.
Jika terus berlanjut, bukan tidak mungkin krisis ekonomi besar akan kembali terjadi, mengulang kejadian seperti tahun 2008.
Pada hakikatnya, diperlukan kerja sama internasional, komitmen politik, dan diplomasi ekonomi yang kuat untuk menahan laju konflik ini.
Negara-negara seperti Indonesia perlu bersiap, bukan hanya dengan kebijakan fiskal dan moneter, tetapi juga dengan strategi jangka panjang dalam memperkuat ketahanan ekonomi nasional. (fam)