Perang Dagang AS-Tiongkok Picu PHK, E-Commerce Kena Imbas Terbesar

3964886578

E-commerce menjadi salah satu sektor yang paling terdampak akibat perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok.

Persaingan dagang ini bukan hanya memengaruhi hubungan kedua negara, tapi juga berdampak luas hingga ke berbagai negara lain, termasuk Indonesia.

Pemerintah AS menerapkan tarif tinggi untuk produk-produk asal Tiongkok. Akibatnya, banyak perusahaan yang mengalami penurunan permintaan, penurunan produksi, hingga terpaksa melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Kebijakan tarif tinggi dari AS membuat produk asal Tiongkok dan negara lain menjadi lebih mahal di pasar AS. Akibatnya, produk-produk tersebut kalah bersaing dan tidak lagi diminati.

Penurunan permintaan ini berdampak pada penurunan produksi di dalam negeri. Ketika produksi menurun, perusahaan tidak mampu lagi menanggung biaya operasional yang tinggi.

Sebagian perusahaan mengalami kelebihan stok karena pasar domestik tidak cukup kuat untuk menyerap produk yang seharusnya diekspor. Kondisi ini menimbulkan kerugian akibat biaya penyimpanan yang semakin besar.

Akibatnya, banyak perusahaan terpaksa melakukan PHK massal atau bahkan menghentikan operasional pabrik. Langkah ini diambil untuk mengurangi kerugian dan menjaga kelangsungan bisnis.

Analis memperkirakan sekitar 50 ribu pekerja di Indonesia juga terkena dampak tidak langsung dari perang dagang ini. Mereka berasal dari sektor industri yang menggantungkan ekspor ke pasar AS.

E-Commerce China Jadi Korban Terbesar

A1621c8f aab0 4c07 8d23 6291ba180c86 169

Perang Dagang AS-Tiongkok Picu PHK, E-Commerce Kena Imbas Terbesar

Perusahaan e-commerce asal China seperti Temu dan Shein menjadi korban utama dalam perang dagang ini. Keduanya sangat mengandalkan pasar Amerika untuk pertumbuhan bisnis mereka.

Sebelumnya, perusahaan-perusahaan tersebut memanfaatkan celah tarif bernama de minimis untuk mengirim barang langsung ke konsumen di AS tanpa dikenakan bea masuk. Namun, kebijakan ini kini dihapus oleh pemerintah AS.

Kini, semua produk asal China yang masuk ke AS dikenakan tarif tinggi, bahkan hingga 145 persen. Hal ini membuat biaya logistik dan harga jual produk menjadi jauh lebih mahal.

Sebagai respons, Temu mengubah strategi bisnisnya di AS. Mereka hanya menjual produk yang tersedia dari gudang lokal di AS. Produk impor dari China diberi label “stok habis”.

Langkah ini menyebabkan jumlah pilihan produk menurun dan harga barang menjadi lebih tinggi. Konsumen di AS pun memiliki lebih sedikit pilihan dengan harga yang tidak lagi kompetitif.

Shein juga mengambil langkah serupa. Mereka mulai menaikkan harga dan menyesuaikan tarif dalam harga jual produk. Ini menunjukkan bahwa beban biaya semakin berat di tengah perubahan kebijakan perdagangan.

Penjualan dari e-commerce China ke AS menurun drastis, hingga 65 persen. Untuk bertahan, mereka merekrut penjual lokal dan mengurangi biaya pemasaran secara signifikan.

Efek Domino ke Indonesia

Meskipun Indonesia tidak terlibat langsung dalam perang dagang ini, dampaknya tetap terasa. Beberapa produk ekspor Indonesia ke AS juga terkena tarif tinggi, seperti minyak sawit yang dikenakan bea masuk hingga 32 persen.

Dengan adanya hambatan perdagangan ke AS, produk-produk dari China yang sebelumnya ditujukan ke pasar Amerika, kini dialihkan ke negara lain. Salah satunya adalah Indonesia.

Produk-produk tersebut masuk ke pasar Indonesia dengan harga murah. Dalam beberapa kasus, harganya bahkan di bawah harga pokok produksi lokal.

Kondisi ini berpotensi menimbulkan persaingan tidak sehat atau predatory pricing. Produsen lokal kesulitan bersaing dengan produk impor yang jauh lebih murah.

Jika terus dibiarkan, banyak pelaku usaha kecil dan menengah akan terdorong untuk menghentikan usahanya. Hal ini tentu akan berdampak pada meningkatnya angka pengangguran di sektor UMKM dan manufaktur.

Strategi Baru E-Commerce dan Tantangan Selanjutnya

Perubahan kebijakan tarif membuat perusahaan e-commerce asal China perlu melakukan penyesuaian. Mereka tidak bisa lagi mengandalkan pengiriman langsung dari China.

Oleh karena itu, beberapa perusahaan membangun gudang lokal di negara tujuan, seperti di Amerika. Namun, hal ini menambah beban biaya logistik dan operasional.

Untuk menjangkau pasar baru, e-commerce China mulai menyasar negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Sayangnya, pasar ini memiliki karakteristik berbeda dan daya beli yang lebih rendah.

Strategi pemasaran dan penetapan harga harus disesuaikan agar tetap kompetitif. Selain itu, persaingan dengan merek lokal juga menjadi tantangan tersendiri di kawasan Asia.

Peluang untuk Produk Lokal

Meskipun kondisi ini menimbulkan tantangan besar, sebenarnya terdapat peluang yang bisa dimanfaatkan. Ketika harga produk impor naik, produk lokal memiliki peluang lebih besar untuk bersaing.

Pemerintah dapat mendukung industri dalam negeri melalui kebijakan perlindungan pasar. Bea masuk terhadap produk impor yang tidak wajar bisa diperketat untuk menjaga keseimbangan pasar.

Selain itu, UMKM perlu didorong untuk meningkatkan kualitas produk. Dengan daya saing yang lebih baik, mereka bisa merebut pangsa pasar dari produk impor.

Pelatihan dan pendampingan juga diperlukan agar pelaku usaha siap menghadapi persaingan global. Dengan strategi yang tepat, produk lokal bisa berkembang di tengah situasi yang menantang ini.

Perang dagang antara AS dan Tiongkok telah memicu gelombang PHK di berbagai negara. Sektor ekspor dan e-commerce menjadi yang paling terdampak.

Perusahaan e-commerce asal China, seperti Temu dan Shein, mengalami perubahan besar dalam strategi bisnis mereka. Hal ini juga memengaruhi kondisi pasar global, termasuk di Indonesia.

Produk impor murah dari China mulai membanjiri pasar Indonesia. Ini menimbulkan tekanan besar pada produsen lokal dan berisiko menimbulkan PHK.

Namun, dengan dukungan kebijakan dan strategi yang tepat, kondisi ini bisa menjadi peluang untuk memperkuat industri lokal dan memperluas pangsa pasar dalam negeri.(amp)