Categories: Berita

Perang Dagang AS–Cina: Ancaman Nyata bagi Keberlangsungan Ritel di RI

Ketegangan perdagangan antara dua raksasa ekonomi dunia, Amerika Serikat dan Cina, bukan hanya menjadi persoalan bilateral, tetapi juga berdampak luas terhadap perekonomian global.

Indonesia, sebagai bagian dari rantai pasok global dan negara yang bergantung pada impor serta ekspor, tak luput dari imbasnya.

Sektor yang paling rentan terkena dampaknya adalah sektor ritel, terutama yang bergantung pada barang impor dan distribusi internasional.

Perang dagang, yang pada dasarnya adalah peningkatan tarif bea masuk dan pembatasan ekspor-impor antar negara, menciptakan tekanan luar biasa pada sistem perdagangan global yang sudah saling terhubung.

Dalam jangka panjang, konflik ini bisa mengganggu kelangsungan bisnis ritel di Indonesia dan memperbesar ketidakpastian ekonomi nasional.

Dampak Perang Dagang AS–Cina Bagi Indonesia

1. Harga Barang Impor Melonjak, Bebani Konsumen

Salah satu dampak paling langsung dari perang dagang adalah kenaikan harga barang impor.

Ekonom dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Teuku Riefky, mengungkapkan bahwa meskipun Indonesia tidak secara langsung menjadi pihak dalam perang dagang tersebut, tetap akan merasakan dampaknya.

Hal ini disebabkan oleh kenaikan harga bahan baku yang berasal dari Amerika Serikat maupun Cina, yang digunakan di berbagai lini produksi global.

Misalnya, jika bahan baku elektronik seperti semikonduktor atau komponen suku cadang kendaraan mengalami lonjakan harga karena tarif yang dikenakan oleh AS terhadap produk Cina, maka barang jadi yang beredar di Indonesia juga ikut naik.

Bagi sektor ritel, hal ini berarti beban tambahan yang kemudian diteruskan kepada konsumen dalam bentuk harga yang lebih tinggi. Akibatnya, daya beli masyarakat bisa menurun dan mempersempit ruang pertumbuhan sektor ini.

2. Ketidakpastian Ekonomi yang Mengkhawatirkan

Perang dagang juga memicu ketidakpastian dalam ekonomi global yang sangat terasa hingga ke dalam negeri.

Ketidakpastian ini berdampak pada nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, yang kerap melemah saat pasar finansial global terguncang oleh ketegangan geopolitik.

Bank Indonesia dan pemerintah memiliki keterbatasan dalam menahan dampak dari gejolak global semacam ini.

Jika rupiah terdepresiasi secara signifikan, maka biaya impor barang akan semakin mahal, dan perusahaan ritel akan kesulitan menjaga margin keuntungan mereka.

Dalam kondisi seperti ini, beberapa perusahaan bisa saja memangkas operasi atau bahkan menutup gerainya untuk menekan kerugian.

3. Perubahan Rantai Pasok Global, Peluang dan Tantangan

Dampak perang dagang juga terlihat dalam perubahan pola rantai pasok global.

Banyak perusahaan internasional yang mulai memindahkan produksi dari Cina ke negara-negara lain demi menghindari tarif tinggi yang dikenakan oleh Amerika Serikat.

Kawasan ASEAN, termasuk Indonesia, dilirik sebagai alternatif lokasi produksi baru.

Seperti yang dijelaskan dalam artikel karya Miguel Angel Esquivias dari Universitas Airlangga, relokasi ini membuka peluang baru bagi negara-negara Asia Tenggara.

Indonesia bisa menjadi pusat produksi baru jika mampu menarik investasi tersebut.

Namun, peluang ini juga datang dengan tantangan besar, seperti kesiapan infrastruktur, kualitas tenaga kerja, hingga stabilitas kebijakan perdagangan dalam negeri.

Jika Indonesia tidak cepat berbenah dan menyambut peluang ini dengan reformasi regulasi dan pembangunan infrastruktur yang memadai, maka kesempatan tersebut bisa dengan mudah diambil oleh negara tetangga yang lebih siap seperti Vietnam atau Thailand.

4. Volume Perdagangan Menurun, Ritel Kian Terjepit

Perang dagang secara tidak langsung menurunkan volume perdagangan global. Tarif tinggi membuat harga barang melonjak dan menurunkan permintaan konsumen di banyak negara.

Negara seperti Indonesia yang sebagian besar masih bergantung pada ekspor dan impor akan menghadapi penurunan aktivitas perdagangan internasional.

Dalam konteks ritel, penurunan volume perdagangan berarti lebih sedikit barang yang masuk ke pasar domestik, baik dalam bentuk barang konsumsi maupun bahan baku industri.

Hal ini menimbulkan kelangkaan pada beberapa jenis produk, yang akan memicu kenaikan harga dan memperburuk inflasi.

Konsumen Indonesia akan menghadapi pilihan yang lebih terbatas dan harga yang lebih tinggi di berbagai sektor, mulai dari elektronik, pakaian, hingga makanan impor.

Akibatnya, ritel harus beradaptasi dengan strategi baru seperti mencari pemasok lokal atau mengurangi portofolio produknya.

5. Ketegangan Geopolitik dan Ancaman Jangka Panjang

Tak hanya ekonomi, perang dagang juga memperuncing ketegangan geopolitik antar negara besar.

Perselisihan perdagangan dapat mengarah pada konflik yang lebih luas, yang kemudian mengganggu stabilitas politik dan ekonomi global.

Negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, akan berada dalam posisi sulit untuk menjaga hubungan baik dengan kedua belah pihak.

Selama ketegangan ini belum mereda, iklim investasi akan terpengaruh karena investor cenderung menahan diri untuk menanamkan modalnya di kawasan yang dinilai tidak stabil.

Dari perspektif bisnis ritel, ketidakpastian geopolitik semacam ini sangat merugikan. Para pelaku usaha akan kesulitan merencanakan ekspansi, melakukan impor barang baru, atau bahkan menetapkan harga jual secara pasti.

Hal ini mengganggu efisiensi rantai distribusi dan melemahkan potensi pertumbuhan bisnis.

Perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina telah menunjukkan betapa terhubungnya ekonomi dunia saat ini.

Meskipun Indonesia bukan pihak langsung dalam konflik tersebut, dampaknya dirasakan luas, terutama pada sektor ritel.

Mulai dari kenaikan harga barang, ketidakpastian ekonomi, perubahan rantai pasok, hingga potensi penurunan volume perdagangan dan ketegangan geopolitik.

Bagi pelaku industri dan pemerintah, perang dagang ini menjadi peringatan penting untuk memperkuat ketahanan ekonomi nasional, termasuk mendorong produksi dalam negeri, memperbaiki kebijakan perdagangan, dan meningkatkan kesiapan infrastruktur.

Tanpa langkah-langkah strategis, keberlangsungan sektor ritel nasional bisa berada dalam posisi rentan di tengah arus perdagangan global yang tak menentu.(taa)