Pengeluaran Kesehatan Indonesia Terendah di ASEAN, Apa Penyebabnya?

Aplikasi Rumah Sakit

Pengeluaran kesehatan Indonesia terus menjadi sorotan. Data terbaru menunjukkan bahwa belanja kesehatan per kapita di Indonesia berada di posisi terendah di Asia Tenggara.

Menurut laporan dari Bank Dunia, pada tahun 2021, pengeluaran kesehatan Indonesia hanya mencapai sekitar US$160,64 per kapita. Angka ini setara dengan Rp2,6 juta, dengan asumsi kurs Rp16.189 per dolar AS. Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga di ASEAN, angka ini sangat rendah.

Di kawasan Asia Tenggara, Singapura mencatatkan pengeluaran kesehatan yang jauh lebih tinggi. Singapura mengalokasikan sekitar US$3.969,89 per kapita, atau sekitar Rp64,2 juta. Negara ini berada di posisi teratas dalam hal pengeluaran kesehatan di ASEAN.

Selain Singapura, negara-negara lain seperti Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand juga memiliki pengeluaran kesehatan yang lebih besar. Brunei, misalnya, mencatatkan US$693,41 per kapita, sedangkan Malaysia menghabiskan US$487,01 per kapita. Pengeluaran Thailand sedikit lebih rendah, yaitu US$364,37 per kapita.

Untitled Design 28 Scaled E1668391502215 1250x851

Pengeluaran kesehatan Indonesia

Filipina dan Vietnam juga mengalokasikan lebih banyak dana untuk kesehatan dibanding Indonesia. Filipina mencatatkan US$203 per kapita, sementara Vietnam menghabiskan US$172,55 per kapita. Dengan demikian, Indonesia berada di urutan ke-7 dari 10 negara di ASEAN dalam hal pengeluaran kesehatan.

Penyebab rendahnya pengeluaran kesehatan di Indonesia berkaitan dengan beberapa faktor. Salah satunya adalah ketergantungan masyarakat pada BPJS Kesehatan. Program ini memang memberikan akses kesehatan bagi banyak orang, namun tidak cukup untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan secara keseluruhan.

Sebagian besar pengeluaran kesehatan di Indonesia masih ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Hanya sekitar 27,49 persen dari total pengeluaran kesehatan yang berasal dari kantong pribadi masyarakat. Artinya, sebagian besar pembiayaan kesehatan di Indonesia bersumber dari sistem jaminan kesehatan nasional tersebut.

Namun, meskipun BPJS Kesehatan telah memberikan dampak positif, sistem ini juga memiliki keterbatasan. Salah satunya adalah tarif BPJS yang tidak mengalami perubahan signifikan selama bertahun-tahun. Hal ini menyebabkan biaya pelayanan kesehatan tidak dapat menyesuaikan dengan inflasi atau biaya operasional yang meningkat.

Dalam kondisi ini, meskipun biaya kesehatan secara umum terbilang rendah, hal ini justru menjadi masalah. Ketua Ikatan Ekonom Kesehatan Indonesia, Hasbullah Tabrany, menilai bahwa kondisi ini kurang ideal. Menurutnya, pengeluaran untuk kesehatan nasional Indonesia masih sangat kecil jika dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) negara.

Pengeluaran kesehatan Indonesia hanya mencapai sekitar 4 persen dari PDB, sebuah angka yang sangat rendah. Negara-negara maju, seperti di Eropa dan Amerika, mengalokasikan sekitar 10 hingga 12 persen dari PDB mereka untuk sektor kesehatan. Sementara negara berkembang lainnya, seperti Malaysia dan Thailand, sudah mengalokasikan sekitar 5 hingga 6 persen dari PDB mereka untuk kesehatan.

Dengan alokasi dana yang terbatas, akses masyarakat terhadap layanan kesehatan yang berkualitas menjadi terbatas. Meskipun BPJS Kesehatan dapat membantu, namun masih banyak warga yang kesulitan mendapatkan layanan kesehatan yang memadai. Hal ini terutama berlaku bagi mereka yang membutuhkan perawatan medis lebih lanjut atau berbiaya tinggi.

Selain itu, Hasbullah juga menambahkan bahwa pengeluaran kesehatan yang rendah menunjukkan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia belum mendapat pelayanan kesehatan yang dibutuhkan. “Jika kita ingin meningkatkan layanan kesehatan, kita perlu meningkatkan dana untuk sektor ini, mungkin hingga tiga kali lipat dari yang ada sekarang,” ujarnya.

Di sisi lain, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin juga mengungkapkan masalah serupa. Menurut Budi, meskipun pengeluaran kesehatan Indonesia sudah cukup besar, angka tersebut masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan sistem kesehatan secara berkelanjutan. “Setiap tahun, negara harus mengeluarkan sekitar Rp614 triliun untuk sektor kesehatan,” jelas Budi.

Budi juga menambahkan bahwa pertumbuhan belanja kesehatan di Indonesia selalu lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi (PDB). Ini menjadi perhatian, karena jika belanja kesehatan terus meningkat lebih cepat daripada PDB, sistem kesehatan bisa menjadi tidak berkelanjutan dalam jangka panjang.

Situasi ini menunjukkan bahwa meskipun Indonesia sudah berusaha keras untuk memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat, dana yang ada masih belum cukup untuk memberikan kualitas yang optimal. Pengeluaran kesehatan yang rendah menjadi hambatan untuk memperbaiki kualitas pelayanan medis yang dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.

Meningkatkan pengeluaran kesehatan menjadi langkah penting untuk memajukan sistem kesehatan di Indonesia. Selain itu, perlu ada perbaikan dalam sistem pembiayaan kesehatan, baik melalui BPJS maupun sumber dana lainnya. Dengan alokasi yang lebih besar, Indonesia dapat memperbaiki kualitas layanan kesehatan dan memastikan bahwa seluruh rakyat dapat mengakses perawatan yang dibutuhkan tanpa hambatan finansial.

Dalam jangka panjang, pengeluaran kesehatan yang lebih tinggi akan memberikan dampak positif. Akses yang lebih baik terhadap layanan kesehatan akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Dengan demikian, pengalokasian dana yang lebih besar untuk sektor kesehatan menjadi kunci untuk menciptakan Indonesia yang lebih sehat dan sejahtera.

Pengeluaran kesehatan Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. Meskipun BPJS Kesehatan membantu meringankan beban masyarakat, namun dana yang tersedia masih tidak cukup untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan secara merata. Oleh karena itu, pengalokasian anggaran untuk sektor kesehatan perlu ditingkatkan agar seluruh rakyat Indonesia dapat menikmati layanan medis yang lebih baik dan berkualitas.(amp)