
Ketua PBNU, Savic Ali, menilai revisi RUU TNI yang membuka peluang tentara aktif masuk ke MA dan Kejagung sebagai langkah yang tidak masuk akal.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) H Mohamad Syafi’ Alielha atau yang akrab disapa Savic Ali, melontarkan kritik keras terhadap revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Pemerintah dan DPR RI tengah menggodok revisi aturan tersebut, yang nantinya akan memungkinkan prajurit aktif TNI untuk menduduki 15 jabatan sipil tanpa harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas keprajuritan.
Salah satu poin yang menjadi sorotan adalah kemungkinan prajurit aktif TNI menempati posisi di Mahkamah Agung (MA) dan Kejaksaan Agung (Kejagung).
Wacana ini dinilai tidak masuk akal dan menimbulkan polemik di masyarakat.
Savic Ali menilai bahwa jabatan di MA dan Kejagung memerlukan kompetensi hukum yang sangat tinggi, sedangkan pendidikan militer tidak dirancang untuk itu.
Kritik terhadap Pembahasan Tertutup
Selain mempertanyakan relevansi penempatan prajurit aktif TNI dalam jabatan-jabatan sipil tersebut, Savic Ali juga mengkritisi proses pembahasan revisi RUU TNI yang dilakukan secara tertutup.
Rapat pembahasan yang berlangsung di Fairmont Hotel, Jakarta, pada Sabtu (15/3/2025), dianggap tergesa-gesa dan kurang transparan.
“Saya kira itu tidak masuk akal bahwa Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung membutuhkan kompetensi hukum yang sangat tinggi, sementara TNI tidak dididik untuk ke sana. Ini adalah bentuk kebijakan yang tidak logis,” ujar Savic dalam keterangan resmi yang dikutip pada Senin (17/3/2025).
Savic menekankan bahwa keputusan sebesar ini seharusnya dibahas secara terbuka dan melibatkan berbagai elemen masyarakat, terutama akademisi dan pakar hukum.
Ia khawatir bahwa jika revisi ini disahkan tanpa kajian mendalam, maka akan berpotensi merusak tatanan hukum dan demokrasi di Indonesia.
Beberapa Jabatan Masih Bisa Diterima

Revisi RUU TNI yang tengah digodok oleh pemerintah dan DPR RI memicu kontroversi, terutama terkait kemungkinan prajurit aktif TNI menduduki jabatan sipil di Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung.
Meskipun menolak keras penempatan prajurit aktif TNI di MA dan Kejagung, Savic Ali mengakui bahwa ada beberapa jabatan sipil yang mungkin masih bisa diterima.
Misalnya, di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) serta Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Menurutnya, dalam situasi darurat dan kemanusiaan, keterlibatan prajurit TNI bisa membantu efektivitas tugas-tugas di bidang tersebut.
“Mungkin ada beberapa hal yang punya justifikasi, terutama seperti di SAR dan penanggulangan bencana. Namun, untuk posisi seperti Jaksa Agung dan Mahkamah Agung, saya kira itu sulit diterima karena membutuhkan keahlian yang berbeda,” tegasnya.
Ancaman bagi Good Governance dan Reformasi 1998
Savic juga mengingatkan bahwa langkah ini bisa menjadi kemunduran bagi tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Masuknya militer ke ranah hukum dan sipil dianggap bertentangan dengan semangat reformasi 1998 yang menekankan pemisahan antara ranah sipil dan militer.
“Ini adalah bentuk kemunduran dari semangat good governance, pemerintahan yang bersih, demokratis, dan bertentangan dengan spirit reformasi 1998,” ungkapnya.
Ia mengingatkan bahwa reformasi 1998 telah memperjuangkan demokrasi yang lebih transparan dan bebas dari pengaruh militer dalam aspek pemerintahan sipil.
Jika revisi RUU TNI ini disahkan, maka semangat reformasi yang telah diperjuangkan selama ini bisa tergerus.
Yenny Wahid: TNI Harus Tetap Fokus pada Pertahanan Negara
Senada dengan Savic Ali, Direktur Wahid Foundation Zannuba Arifah Chafsoh atau Yenny Wahid juga mengingatkan agar TNI tetap berpegang pada prinsip tidak terlibat dalam ranah sipil dan politik.
Menurutnya, rakyat sangat mengapresiasi profesionalisme TNI yang selama ini fokus pada pertahanan negara, dan tidak tergoda untuk masuk ke ranah-ranah sipil.
“Rakyat mengapresiasi itu. Kita berharap TNI bisa berkonsentrasi dalam persoalan pertahanan negara dan tidak tergoda untuk masuk ke ranah-ranah sipil, karena itu bisa membawa kerancuan dalam kualitas berdemokrasi kita,” ujar Yenny di Kantor Wahid Foundation, Jalan Taman Amir Hamzah, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (14/3/2025).
Yenny menambahkan, jika ada prajurit TNI yang ingin menempati jabatan sipil, maka mereka harus menanggalkan status militer mereka terlebih dahulu.
Ia menekankan bahwa tidak boleh ada standar ganda dalam penempatan jabatan sipil dan jabatan militer.
“Kita minta klarifikasi, kok ada standar-standar yang berbeda untuk jabatan sipil dengan jabatan-jabatan yang dimiliki oleh TNI? Mana jabatan yang membuat seseorang dapat menanggalkan posisinya sebagai anggota TNI aktif dan mana yang harus dipertahankan? Ini yang saya rasa sebagai masyarakat sipil harus kita kritisi bersama,” tandasnya.
Revisi RUU TNI yang tengah digodok oleh pemerintah dan DPR RI memicu kontroversi, terutama terkait kemungkinan prajurit aktif TNI menduduki jabatan sipil di Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung.
Kritik keras datang dari berbagai pihak, termasuk PBNU dan Wahid Foundation, yang menilai langkah ini bertentangan dengan semangat reformasi 1998 dan prinsip pemerintahan yang bersih.
Meskipun ada beberapa jabatan yang dinilai masih bisa diterima, seperti di SAR dan BNPB, namun pelibatan TNI dalam institusi hukum dianggap tidak relevan.
Banyak pihak menuntut agar revisi ini dikaji ulang dan dibahas secara terbuka agar tidak merusak prinsip demokrasi di Indonesia.(vip)