OJK Waspadai Risiko Gagal Bayar Pinjol dan Multifinance di Tengah Lonjakan PHK

OJK mengingatkan pinjol dan perusahaan pembiayaan agar waspada risiko gagal bayar akibat banyaknya PHK di berbagai sektor
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengingatkan perusahaan pinjaman online (pinjol) dan multifinance agar lebih waspada terhadap kemungkinan gagal bayar, menyusul meningkatnya kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor.
Fenomena PHK yang meningkat dapat berdampak langsung terhadap kemampuan pembayaran nasabah. OJK menekankan bahwa perusahaan keuangan perlu memperhatikan hal ini dalam mengelola risiko mereka. Oleh karena itu, peran manajemen risiko yang baik menjadi semakin penting dalam menghadapi tantangan ini.
Selain itu, OJK juga mendorong perusahaan-perusahaan tersebut untuk tetap mengutamakan prinsip kehati-hatian dalam operasionalnya. Inovasi berkelanjutan juga menjadi salah satu kunci untuk menekan risiko gagal bayar yang semakin besar.
“Perusahaan juga didorong untuk terus berinovasi untuk mengurangi risiko gagal bayar yang meningkat, apalagi dengan adanya dinamika ekonomi domestik dan global,” ujar Agusman, selaku Kepala Eksekutif Pengawasan atas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, serta Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) di OJK.
Hal ini disampaikan dalam Rapat Dewan Komisioner OJK di Jakarta, Senin (19/5), yang dilansir dari Antara. Agusman juga menyampaikan bahwa dampak dari dinamika perekonomian, termasuk meningkatnya angka PHK, perlu dicermati dengan seksama, terutama untuk industri multifinance dan fintech peer to peer (P2P) lending.
Menurutnya, ketidakpastian yang ditimbulkan oleh perubahan ekonomi ini harus dihadapi dengan langkah-langkah antisipatif yang matang. Oleh karena itu, perusahaan yang terlibat dalam sektor pembiayaan perlu lebih cermat dalam mengelola risiko terkait dengan kualitas kredit dan potensi gagal bayar.
OJK saat ini masih melakukan pemantauan ketat terhadap potensi risiko kredit bermasalah di sektor pembiayaan. Per Maret 2025, rasio pembiayaan bermasalah (NPF gross) pada industri multifinance tercatat menurun hingga mencapai 2,71%.
Sementara itu, di sektor pinjaman daring, rasio kredit bermasalah selama 90 hari (TWP90) di industri pinjol tetap terkendali di angka 2,77%. Meskipun terkendali, potensi permintaan pembiayaan yang meningkat tetap menjadi perhatian. Tekanan ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat dapat mempengaruhi kemampuan mereka untuk membayar pinjaman.
Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital dari Center of Economic and Law Studies (Celios), memproyeksikan bahwa total penyaluran pinjaman digital (lending book) pada tahun 2025 bisa mencapai Rp365,7 triliun. Ini menunjukkan pertumbuhan sekitar 20% dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat sebesar Rp302,7 triliun.
Meski begitu, Huda menyoroti bahwa hingga penghujung tahun 2024, penyaluran pinjaman oleh fintech P2P lending masih didominasi oleh sektor konsumsi. Porsi sektor konsumtif ini mencapai sekitar 70%, sementara sektor produktif seperti Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) masih membutuhkan akses permodalan yang lebih luas.

Agusman Kepala Eksekutif Bidang Pembiayaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun sektor konsumtif tumbuh pesat, sektor produktif yang seharusnya menjadi pendorong ekonomi justru masih kurang mendapatkan perhatian yang cukup dalam hal pembiayaan. Padahal, akses permodalan yang lebih luas sangat dibutuhkan oleh UMKM yang sering kali tidak terjangkau oleh layanan perbankan tradisional.
“Fintech P2P lending dapat menjadi solusi penting dalam menyediakan pembiayaan alternatif bagi pelaku usaha akar rumput. Dengan prosedur yang lebih cepat dan persyaratan yang lebih sederhana, hal ini dapat menjadi peluang besar untuk mendukung sektor produktif,” kata Huda.
Lebih lanjut, Huda menjelaskan bahwa sektor ekonomi akar rumput, yang sering kali dianggap kurang diperhatikan, justru memiliki ketahanan yang sangat tinggi. Mereka cenderung lebih tangguh dalam menghadapi tantangan ekonomi, bahkan ketika terjadi PHK massal.
Dalam pandangannya, ekonomi akar rumput bisa menjadi penyelamat bagi banyak masyarakat yang terdampak oleh gelombang PHK. Mereka tidak hanya bertahan, tetapi juga mampu menciptakan lapangan pekerjaan dan kegiatan ekonomi yang dapat membantu pemulihan ekonomi nasional.
Untuk mendukung ketahanan sektor akar rumput ini, Huda mendorong adanya regulasi yang lebih terintegrasi dan mendalam. Regulasi tersebut harus mencakup berbagai elemen, termasuk peran lembaga keuangan, akademisi, serta sinergi antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah.
“Peran pemerintah daerah sangat penting dalam menjembatani kebijakan nasional dengan karakteristik dan kebutuhan ekonomi akar rumput di wilayah masing-masing,” katanya.
Dengan pendekatan yang lebih menyeluruh, diharapkan sektor ekonomi di tingkat akar rumput dapat berkembang lebih pesat. Pengembangan ini bisa dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak, mulai dari lembaga keuangan hingga pemerintah daerah, agar kebutuhan spesifik dari sektor ini dapat dipenuhi secara lebih efektif.
Ke depan, dengan inovasi yang tepat dan kebijakan yang mendukung, sektor ini bisa tumbuh lebih pesat dan memberikan dampak positif yang signifikan terhadap pemulihan ekonomi, baik di tingkat lokal maupun nasional. (Okt)