Modal Aduan Masyarakat Fiktif, Kompol Ramli Peras Hingga Rp 4,75 Miliar

Sabung Ayam Way Kanan

Di tengah dinamika pemberantasan korupsi dan upaya meningkatkan integritas institusi kepolisian, muncul sebuah kasus yang mengejutkan publik.

Kompol Ramli Sembiring, mantan penjabat sementara (PS) Kasubdit Tindak Pidana Korupsi (Tipidkor) Polda Sumatera Utara, bersama Brigadir Bayu terlibat dalam aksi pemerasan yang menggunakan modal aduan masyarakat fiktif.

Kedua oknum ini terbukti memeras 12 kepala sekolah di Sumut dengan total uang mencapai Rp4,75 miliar yang bersumber dari dana alokasi khusus (DAK) fisik di Dinas Pendidikan Sumut. Kasus ini membuka mata banyak pihak tentang modus operandi kejahatan yang semakin canggih dan terstruktur.

Kronologi dan Latar Belakang Kasus

Kronologi pemerasan bermula ketika Kompol Ramli Sembiring dan Brigadir Bayu menggunakan kewenangan yang dimilikinya untuk mengatur pertemuan antara Kepala Dinas Pendidikan Sumut dan para kepala sekolah. Dengan mengundang para kepala sekolah melalui surat undangan yang dibuat secara administrasi palsu, kedua tersangka memanfaatkan posisi mereka untuk mengendalikan agenda pertemuan.

Dalam pertemuan tersebut, bukannya membahas pengawasan dana atau evaluasi kinerja, mereka justru meminta para kepala sekolah mengalihkan pekerjaan DAK fisik 2024 kepada timnya.

Mekanisme yang diterapkan pun sangat sistematis. Para kepala sekolah dihadapkan pada pilihan: menyerahkan fee atau persentase sebesar 20 persen dari anggaran DAK fisik atau mengalihkan proyek pekerjaan kepada rekan dari Brigadir Bayu dan Kompol Ramli.

Tidak sedikit kepala sekolah yang akhirnya terpaksa menyerahkan fee tersebut. Total uang yang diserahkan pun mencapai Rp4.757.759.000, di mana Brigadir Bayu sendiri menerima sejumlah uang secara langsung dari empat kepala sekolah SMKN sebesar Rp437.176.000, kemudian menyerahkan sisanya kepada Kompol Ramli Sembiring.

Penggunaan Modal Aduan Masyarakat Fiktif

Polisi Peras Kepsek

Salah satu elemen kunci dalam kasus ini adalah penggunaan modal aduan masyarakat fiktif. Modal aduan masyarakat merupakan salah satu instrumen yang seharusnya digunakan untuk mengungkap tindak pidana korupsi secara objektif. Namun, dalam kasus ini, kedua tersangka memanfaatkan aduan tersebut secara ilegal. Mereka mengkonstruksi aduan palsu yang menggiring opini publik dan menekan para kepala sekolah untuk tunduk pada permintaan mereka. Dalam prosesnya, Brigadir Bayu memerintahkan seseorang berinisial NVL untuk membuat administrasi aduan masyarakat palsu, termasuk surat undangan resmi kepada para kepala sekolah.

Dengan aduan fiktif tersebut, para kepala sekolah yang hadir tidak diberi kesempatan untuk memeriksa secara menyeluruh adanya indikasi penyimpangan dana. Akibatnya, proses pertemuan yang seharusnya menjadi wadah pengawasan dan evaluasi malah berubah menjadi ajang pemerasan yang merugikan banyak pihak. Penggunaan modal aduan masyarakat fiktif ini merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang yang semakin mencoreng nama baik institusi kepolisian.

Dampak Kasus Terhadap Institusi dan Masyarakat

Kasus pemerasan ini tidak hanya berdampak pada reputasi institusi kepolisian, melainkan juga menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat, khususnya para pendidik dan kepala sekolah di Sumatera Utara. Dana alokasi khusus (DAK) fisik yang seharusnya digunakan untuk peningkatan mutu pendidikan dan pembangunan infrastruktur sekolah malah disalahgunakan untuk keuntungan pribadi oknum aparat. Dampak finansial yang mencapai miliaran rupiah tentu menghambat upaya perbaikan mutu pendidikan di daerah tersebut.

Lebih jauh, kasus ini mencerminkan betapa canggihnya jaringan kejahatan yang menggunakan strategi terstruktur. Dengan memisahkan identitas para pelaku dan menggunakan aduan masyarakat fiktif sebagai alat pemerasan, aparat penegak hukum dihadapkan pada tantangan besar untuk mengungkap seluruh jaringan kejahatan tersebut. Praktik seperti ini mengancam kepercayaan masyarakat terhadap aparat keamanan dan menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas sistem pengawasan internal di lingkungan kepolisian.

Tindakan Disipliner dan Proses Hukum

Sebagai respon atas pelanggaran berat tersebut, Kompol Ramli Sembiring beserta Brigadir Bayu telah dikenai Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) dari institusi kepolisian. Keputusan ini diambil berdasarkan bukti-bukti yang kuat mengenai keterlibatan mereka dalam aksi pemerasan yang merugikan negara dan masyarakat. Tidak hanya itu, Kompol Ramli Sembiring tidak mengajukan banding atas keputusan PTDH tersebut karena saat itu ia sudah mendekati masa pensiun. Menurut keterangan dari Kabid Propam Polda Sumut, penolakan untuk mengajukan banding didasarkan pada fakta bahwa penangkapan dilakukan mendekati batas waktu pensiun sehingga proses banding tidak dapat dilanjutkan.

Selain keputusan etik internal, proses hukum terhadap kedua tersangka juga terus berjalan. Penyidik berhasil menyita uang sebesar Rp400 juta dalam sebuah koper yang ditemukan di mobil Kompol Ramli saat penangkapan. Penemuan tersebut semakin menguatkan bukti keterlibatan mereka dalam skema pemerasan ini. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turut terlibat dan berkoordinasi dengan pihak kepolisian dalam menangani kasus ini, dengan indikasi bahwa tersangka akan dijerat dengan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi serta Pasal 12E tentang pemerasan.

Gugatan Praperadilan dan Langkah Hukum Selanjutnya

Di sisi lain, Kompol Ramli Sembiring mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Medan. Gugatan ini diajukan setelah persidangan awal yang seharusnya dijadwalkan pada tanggal 19 Maret 2025 ditunda menjadi 24 Maret 2025. Kuasa hukum Kompol Ramli, Irwansyah Nasution, menyatakan bahwa gugatan tersebut telah diajukan sejak 13 Maret 2025. Langkah hukum ini diharapkan dapat memberikan ruang bagi tersangka untuk menyampaikan pembelaan secara hukum, meskipun bukti-bukti yang ada menunjukkan keterlibatan mereka dalam tindakan pemerasan.

Implikasi dan Evaluasi Sistem Internal

Kasus ini memberikan pelajaran penting terkait evaluasi sistem pengawasan internal di institusi kepolisian. Penyalahgunaan wewenang dan pemanfaatan modal aduan masyarakat fiktif merupakan celah yang perlu segera ditutup untuk mencegah terulangnya praktik serupa di masa mendatang. Evaluasi menyeluruh terhadap sistem administrasi, pelatihan etika bagi anggota, dan peningkatan transparansi dalam setiap proses pengawasan menjadi hal yang sangat penting.

Selain itu, kerjasama antar instansi penegak hukum, seperti KPK dan pihak kepolisian, perlu terus ditingkatkan agar kasus-kasus korupsi dengan modus operandi yang semakin kompleks dapat diatasi dengan cepat dan tepat. Langkah-langkah preventif dan penegakan hukum yang tegas harus menjadi prioritas untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara.

Kasus pemerasan dengan modal aduan masyarakat fiktif yang melibatkan Kompol Ramli Sembiring dan Brigadir Bayu merupakan gambaran nyata dari penyalahgunaan wewenang di lingkungan aparat. Total uang yang diperas mencapai Rp4,75 miliar, berasal dari dana alokasi khusus yang seharusnya digunakan untuk kemajuan pendidikan, kini beralih menjadi keuntungan pribadi oknum aparat. Kejadian ini tidak hanya mencoreng nama baik institusi kepolisian, tetapi juga menimbulkan dampak negatif terhadap kepercayaan masyarakat dan sistem pendidikan di Sumatera Utara.

Dengan diberlakukannya sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) serta proses hukum yang tengah berjalan, diharapkan kasus ini menjadi pelajaran bagi semua pihak. Peningkatan pengawasan internal, transparansi, dan kerja sama antar instansi penegak hukum menjadi kunci untuk mencegah kejahatan serupa di masa mendatang. Sementara itu, gugatan praperadilan yang diajukan oleh Kompol Ramli Sembiring menjadi salah satu upaya hukum untuk mencari keadilan, meskipun bukti keterlibatan dalam pemerasan sudah sangat kuat.

Kasus ini menekankan pentingnya integritas dan tanggung jawab di setiap lini pemerintahan. Masyarakat, institusi pendidikan, dan aparat penegak hukum harus bersama-sama membangun sistem yang bebas dari praktik korupsi demi menciptakan lingkungan yang lebih aman, adil, dan berkualitas.