Marak Soal Turis Asing Punya Tanah di Bali, Begini Penjelasan Aturan yang Sebenarnya

Marak turis asing punya tanah di Bali, bolehkah?
Pulau Bali telah lama menjadi magnet bagi wisatawan mancanegara, tidak hanya untuk berlibur tetapi juga sebagai tempat menetap dan berinvestasi.
Fenomena ini terlihat dari meningkatnya minat warga negara asing (WNA) dalam membeli properti di Bali.
Menurut data dari JSP Bali and Development, hanya 30% pembeli rumah di Badung yang merupakan warga lokal, sedangkan sisanya sekitar 70% adalah WNA.
Sementara itu, di Denpasar, hanya 40% warga lokal yang membeli rumah, sisanya 60% berasal dari luar Bali, termasuk dari luar negeri.
Minat WNA terhadap properti di Bali dipicu oleh berbagai faktor, termasuk gaya hidup yang menarik, komunitas internasional yang kuat, dan potensi investasi yang menguntungkan.
Banyak WNA yang membeli properti untuk dijadikan tempat tinggal kedua atau sebagai investasi, mengingat Bali menawarkan lingkungan yang mendukung gaya hidup sehat dan aktif.
Namun, fenomena ini juga menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat lokal.
Tingginya permintaan properti oleh WNA telah menyebabkan lonjakan harga tanah dan rumah, membuat warga lokal kesulitan untuk memiliki rumah di daerah mereka sendiri.
Gubernur Bali, Wayan Koster, bahkan mengungkapkan bahwa banyak WNA yang menikahi warga lokal untuk menguasai aset di Bali, sebuah praktik yang dapat membahayakan keberlanjutan budaya dan ekonomi lokal.
Lantas, bagaimana sebetulnya regulasi kepemilikan tanah oleh WNA di Indonesia, khususnya Bali? Untuk mengetahui penjelasan detailnya, simak informasi dalam artikel berikut ini.
Regulasi Kepemilikan Tanah oleh WNA
Pada hakikatnya, regulasi kepemilikan tanah di Indonesia oleh turis asing atau WNA sudah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau UUPA.
Ada beberapa pasal yang menyatakan bahwa WNA tidak boleh memiliki tanah di Indonesia. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Pasal 26 ayat (2) UUPA berikut ini.
“Setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warganegara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.”
Dalam hal ini, setiap orang dengan kewarganegaraan asing dan mendapatkan hak milik secara langsung maupun tidak langsung, maka dinyatakan batal dan kepemilikan tersebut akan jatuh terhadap negara dan resmi dikelola oleh negara.
Meskipun demikian, para WNA bisa memperoleh Hak Guna Bangunan (HGB) jika ingin tinggal di Indonesia sesuai ketentuan dan Hak Guna Usaha (HGU) jika ingin membangun bisnis di Indonesia.
Regulasi HGU bagi WNA yang sering dikaitkan dengan maraknya turis asing yang membangun bisnis di Indonesia, khususnya Bali, sudah diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UUPA berikut ini.
“Hak guna-usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.”
Dengan demikian, setiap WNA yang ingin bisnis di Indonesia harus memastikan badan usaha yang dibangun sesuai dengan hukum di Indonesia dan bertempat di Indonesia sesuai UU yang berlaku.

WNA dapat memperoleh hak atas tanah melalui skema hak guna bangunan, hak pakai, dan hak guna usaha.
Dalam Pasal 69 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah ditegaskan kembali mengenai hak WNA dalam memiliki rumah tinggal di Indonesia.
Para turis asing yang ingin bermukim di Indonesia merupakan WNA yang mempunyai dokumen imigrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Orang Asing yang dapat memiliki rumah tempat tinggal atau hunian merupakan Orang Asing yang mempunyai dokumen keimigrasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Dari semua regulasi tersebut, disimpulkan bahwa WNA tidak diperbolehkan mempunyai hak milik atas tanah dan bangunan di Indonesia.
Hanya warga negara Indonesialah yang memiliki hak milik atas tanah dan properti.
Namun, WNA dapat memperoleh hak atas tanah melalui skema hak guna bangunan (HGB), hak pakai, dan hak guna usaha (HGU) dengan catatan badan usaha yang dibangun sudah memenuhi syarat perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
WNA tidak dapat memiliki tanah secara langsung dengan status hak milik. Mereka hanya dapat memanfaatkan tanah melalui skema hak-hak tersebut.
Fenomena maraknya WNA bertempat tinggal di Indonesia sekaligus membangun bisnis kerap meresahkan masyarakat lokal, khususnya mengenai hak milik atas sesuatu.
Pada beberapa kasus, WNA mencoba mengakali regulasi dengan menggunakan nama warga lokal untuk membeli tanah.
Bahkan, tidak sedikit pula oknum WNI dilibatkan, lantaran dibayar dan dicatat namanya dalam kepemilikan tanah dan bangunan demi keuntungan WNA pribadi.
Meskipun sudah cukup umum, tetapi praktik ini ilegal dan dapat menimbulkan risiko hukum serius, termasuk penyitaan properti oleh negara.
Itulah, regulasi yang menjelaskan soal ketentuan turis asing punya tanah di Bali. Banyaknya pelanggaran hukum oleh WNA hingga kini menimbulkan kekhawatiran di kalangan lokal, terlebih saat harga tanah melonjak yang membuat warga lokal sulit memiliki lahan dan properti di daerah sendiri. (fam)