Categories: Berita Nasional

Mahfud Md: Sukatani Tak Perlu Minta Maaf soal Lirik ‘Bayar Bayar Bayar’

Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud Md, menegaskan bahwa band punk Sukatani sebenarnya tidak perlu meminta maaf kepada pihak kepolisian terkait lirik lagu mereka, “Bayar Bayar Bayar”.

Lagu ini menjadi perbincangan publik karena berisi kritik terhadap tindakan oknum polisi.

Melalui akun X (sebelumnya Twitter) miliknya, @mohmahfudmd, Mahfud Md menyampaikan pendapatnya terkait sikap band Sukatani yang memilih meminta maaf dan menarik lagu tersebut dari peredaran.

Menurutnya, langkah itu sebenarnya tidak diperlukan karena lagu tersebut telah dirilis jauh sebelum aksi unjuk rasa yang menjadikannya sebagai lagu protes.

Mahfud Md: Kritik dalam Lagu Adalah Hak Asasi Manusia

Mahfud Md, menegaskan bahwa band punk Sukatani sebenarnya tidak perlu meminta maaf kepada pihak kepolisian terkait lirik lagu mereka, “Bayar Bayar Bayar”.

Dalam unggahan yang dibuat pada Sabtu, 22 Februari 2025, Mahfud menyoroti bahwa kebebasan berekspresi, terutama melalui seni, merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang harus dilindungi.

“Mestinya grup band Sukatani tak perlu minta maaf dan menarik lagu ‘Bayar Bayar Bayar’ dari peredaran karena alasan pengunjuk rasa menyanyikannya saat demo [2025],” tulis Mahfud dalam unggahannya.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2008–2013 itu juga menekankan bahwa lagu tersebut telah tersedia di platform streaming musik seperti Spotify jauh sebelum insiden demonstrasi terjadi.

Oleh karena itu, tidak seharusnya lagu ini dianggap sebagai pemicu aksi protes.

“Lagu tersebut sudah diunggah di Spotify sebelum ada unjuk rasa. Menciptakan lagu untuk kritik adalah HAM [Hak Asasi Manusia],” tambah Mahfud.

Sukatani Minta Maaf kepada Kepolisian

Sebelumnya, band punk asal Purbalingga ini menyampaikan permintaan maaf mereka kepada institusi Polri melalui sebuah video yang diunggah di akun media sosial resmi band tersebut.

Dalam video tersebut, dua personel Sukatani, Muhammad Syifa Al Lufti alias Alectroguy dan Novi Citra Indriyati alias Twister Angel, secara terbuka meminta maaf kepada Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo serta seluruh jajaran Polri.

“Kami dari band Sukatani ingin menyampaikan permintaan maaf kepada Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo dan seluruh jajaran kepolisian atas lirik lagu kami ‘Bayar Bayar Bayar’,” ujar Alectroguy dalam video permintaan maaf tersebut.

Twister Angel juga menambahkan bahwa mereka tidak bermaksud untuk menyinggung atau merugikan pihak mana pun dengan lagu yang mereka ciptakan.

“Kami tidak ada niat untuk menyudutkan atau menyerang pihak mana pun. Kami hanya ingin menyalurkan aspirasi dalam bentuk seni,” kata Twister Angel.

Setelah menyampaikan permintaan maaf, Sukatani juga mengumumkan bahwa mereka telah menarik lagu “Bayar Bayar Bayar” dari semua platform digital.

Keputusan ini sontak menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat, terutama di komunitas musik independen dan aktivis HAM.

Pro dan Kontra di Masyarakat

Keputusan Sukatani untuk meminta maaf dan menarik lagu mereka mendapat berbagai tanggapan dari masyarakat.

Sebagian besar warganet dan aktivis kebebasan berekspresi merasa bahwa band ini seharusnya tidak perlu melakukan hal tersebut, karena lirik lagu merupakan bagian dari ekspresi seni yang sah.

Sejumlah musisi independen juga turut bersuara, menyoroti bahwa langkah yang diambil oleh Sukatani dapat menciptakan preseden buruk bagi kebebasan berekspresi di dunia musik Indonesia.

“Jika musisi tidak lagi bisa mengkritik kondisi sosial dan politik, lalu di mana ruang untuk kebebasan berkarya?” ujar seorang musisi punk asal Yogyakarta dalam sebuah diskusi daring.

Namun, ada pula yang berpendapat bahwa permintaan maaf tersebut merupakan langkah bijak demi menghindari konflik lebih lanjut dengan pihak kepolisian.

Mereka menilai bahwa dalam situasi yang semakin sensitif, musisi perlu berhati-hati dalam menyampaikan kritik agar tidak menimbulkan polemik yang lebih besar.

Kebebasan Berekspresi dalam Seni Musik

Kebebasan berekspresi melalui seni telah lama menjadi bagian dari demokrasi.

Di banyak negara, musik sering kali digunakan sebagai medium kritik sosial, dari isu ketidakadilan hingga kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak pada rakyat.

Di Indonesia sendiri, sejarah mencatat bahwa lagu-lagu kritik sosial telah ada sejak era Orde Baru, ketika banyak musisi menyampaikan kegelisahan mereka terhadap situasi politik saat itu.

Namun, hingga kini, batas antara kritik dan ujaran yang dianggap merugikan pihak tertentu masih menjadi perdebatan.

Sejumlah kasus hukum terkait kebebasan berekspresi di Indonesia sering kali mengundang perhatian publik, terutama ketika menyangkut kritik terhadap institusi negara.

Mahfud Md menilai bahwa kritik dalam bentuk seni seharusnya tidak dianggap sebagai ancaman, melainkan sebagai bagian dari dinamika demokrasi yang sehat.

Ia juga mengingatkan bahwa kebebasan berekspresi harus tetap dijaga agar masyarakat bisa terus menyuarakan pendapat mereka tanpa rasa takut.

Regulasi Kebebasan Berekspresi di Indonesia

Dalam konteks hukum, kebebasan berekspresi di Indonesia dijamin oleh UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan.

Namun, regulasi seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) kerap kali menjadi alat untuk menjerat individu atau kelompok yang menyampaikan kritik terhadap pemerintah atau institusi tertentu.

Para aktivis HAM dan pengamat hukum berpendapat bahwa regulasi yang ada harus lebih jelas dalam membedakan kritik yang bersifat membangun dengan ujaran kebencian yang memang bertujuan untuk merugikan pihak lain.

Jika tidak, maka kebebasan berekspresi di Indonesia akan terus menghadapi ancaman dari pihak-pihak yang merasa terganggu dengan kritik yang disampaikan oleh masyarakat.

Kasus yang menimpa Sukatani menjadi salah satu contoh bagaimana kebebasan berekspresi dalam seni masih menghadapi tantangan di Indonesia.

Meskipun lagu “Bayar Bayar Bayar” telah ditarik dari peredaran, diskusi mengenai batasan kritik dalam seni tetap menjadi topik yang relevan.

Mahfud Md menegaskan bahwa kritik dalam bentuk lagu bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan, melainkan harus dipahami sebagai bagian dari hak asasi manusia.

Ia juga mengingatkan bahwa kebebasan berekspresi adalah salah satu pilar utama demokrasi yang tidak boleh dikorbankan.

Ke depan, diharapkan ada regulasi yang lebih jelas dan perlindungan hukum yang lebih kuat bagi para seniman dan musisi agar mereka dapat terus berkarya tanpa takut menghadapi tekanan atau intimidasi.(vip)