Mahasiswa UI Gugat UU TNI: Ini Alasannya dan Apa yang Tidak Ada di Prolegnas

Mahasiswa UI, Muhammad Alif Ramadhan, bersama timnya memutuskan untuk menggugat UU ini ke Mahkamah Konstitusi karena tidak ditemukan dalam daftar Prolegnas dan tidak memiliki alasan kuat untuk dibahas secara mendadak.
Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang baru saja disahkan menuai kontroversi.
Sejumlah mahasiswa dan elemen masyarakat menggugat UU tersebut karena dianggap tidak masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Hal ini disampaikan oleh mahasiswa Universitas Indonesia (UI), Muhammad Alif Ramadhan, yang menjadi pemohon dalam gugatan UU TNI ke Mahkamah Konstitusi.
Dalam dialog Sapa Indonesia Pagi di Kompas TV pada Senin (24/3/2025), Alif menyatakan bahwa pihaknya tidak menemukan adanya RUU TNI dalam daftar Prolegnas. Namun, secara tiba-tiba, RUU ini dibahas dan disahkan dalam waktu yang sangat singkat.
“Kami tidak menemukan di Prolegnas adanya UU TNI, namun dalam waktu singkat justru UU ini yang dalam tanda kutip dikebut dan disahkan,” ujar Alif.
Menurut Alif, meskipun dalam kondisi tertentu pembahasan RUU di luar Prolegnas diperbolehkan, tidak ada alasan yang cukup kuat yang mendasari percepatan revisi UU TNI ini.
Berdasarkan aturan, DPR atau Presiden dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas hanya dalam kondisi tertentu seperti mengatasi keadaan luar biasa, konflik, bencana alam, atau urgensi nasional yang mendesak.

Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) mengajukan gugatan terhadap UU TNI yang dinilai disahkan tanpa melalui prolegnas, memicu perdebatan di kalangan akademisi dan masyarakat.
“Keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu rancangan UU perlu dibuktikan dengan data dan alasan yang kuat, bukan sekadar kehendak segelintir pihak,” tambahnya.
Selain itu, Alif juga mengkritik sikap DPR RI yang dinilai mengabaikan suara publik saat pengesahan RUU ini menjadi undang-undang.
Pada hari yang sama ketika RUU ini disahkan, mahasiswa dan elemen masyarakat turun ke jalan untuk meminta DPR menunda pengesahan.
“Dari sini bisa dilihat bagaimana ada kejanggalan. Rakyat bersuara, namun perwakilan rakyat justru bertindak sebaliknya,” kata Alif.
Pengesahan UU TNI di DPR RI
Dalam Sidang Paripurna DPR RI yang digelar pada Kamis (20/3/2025), revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) resmi disahkan menjadi undang-undang.
Pengesahan ini dilakukan setelah Ketua DPR RI, Puan Maharani, meminta persetujuan dari seluruh fraksi dalam rapat paripurna ke-15 DPR Masa Persidangan 1 Tahun Sidang 2024-2025 di Gedung DPR, Senayan, Jakarta.
“Sekarang tibalah saatnya kami meminta persetujuan fraksi-fraksi terhadap rancangan undang-undang tentang perubahan atas UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, apakah dapat disetujui untuk disahkan menjadi UU?” tanya Puan Maharani kepada anggota dewan yang hadir dalam sidang.
“Setuju,” jawab para anggota DPR serentak.
Puan pun menyampaikan rasa terima kasih kepada para anggota dewan yang telah menyetujui RUU tersebut dan disambut dengan tepukan tangan di dalam ruang sidang.
Tak hanya sekali, Puan kembali bertanya kepada anggota dewan untuk memastikan persetujuan atas RUU ini.
“Saya tanyakan sekali lagi kepada seluruh anggota, apakah rancangan undang-undang tentang perubahan atas UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dapat disetujui untuk disahkan menjadi UU?” tanya Puan.
Untuk kedua kalinya, para anggota dewan kembali menyatakan setuju secara serempak, sehingga RUU ini resmi menjadi undang-undang.
Kontroversi dan Kekhawatiran Publik
Pengesahan UU TNI ini menuai banyak kritik dari berbagai pihak, terutama dari kalangan mahasiswa dan aktivis hukum.
Beberapa poin dalam UU yang baru disahkan ini dianggap kontroversial dan berpotensi mengancam prinsip demokrasi serta supremasi sipil di Indonesia.
Beberapa pihak menilai bahwa revisi UU TNI yang dilakukan secara cepat ini tidak memberikan ruang yang cukup bagi publik untuk berpartisipasi dalam proses legislasi.
Padahal, keterlibatan masyarakat dalam pembuatan undang-undang merupakan salah satu prinsip utama dalam negara demokrasi.
Sejumlah pengamat juga menyoroti kemungkinan adanya klausul dalam UU ini yang memberikan kewenangan lebih besar kepada militer dalam urusan sipil.
Jika benar demikian, hal ini berpotensi mengaburkan batas antara ranah militer dan sipil, sesuatu yang bertentangan dengan prinsip reformasi TNI yang telah berjalan sejak era reformasi 1998.
Respons dari Pemerintah dan DPR
Menanggapi protes yang muncul, beberapa anggota DPR dan perwakilan pemerintah menyatakan bahwa revisi UU TNI dilakukan demi memperkuat peran TNI dalam menjaga stabilitas nasional.
Menurut mereka, perubahan ini bertujuan untuk menyesuaikan tugas dan fungsi TNI dengan dinamika keamanan yang terus berkembang, termasuk ancaman keamanan siber dan kejahatan transnasional.
Namun, alasan ini tidak cukup meyakinkan para mahasiswa dan aktivis yang menentang UU tersebut.
Mereka berpendapat bahwa jika benar ada kebutuhan mendesak, seharusnya pemerintah dan DPR memberikan kesempatan bagi publik untuk ikut memberikan masukan dalam penyusunan UU ini.
Muhammad Alif Ramadhan dan timnya berencana untuk membawa persoalan ini ke Mahkamah Konstitusi guna menguji konstitusionalitas dari UU tersebut.
Mereka berharap Mahkamah Konstitusi dapat mengkaji apakah proses penyusunan dan pengesahan UU ini telah sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku di Indonesia.
Pengesahan UU TNI yang dilakukan secara cepat tanpa adanya pembahasan terbuka dengan publik menimbulkan kecurigaan dan kekhawatiran di kalangan mahasiswa serta elemen masyarakat.
Mahasiswa UI, Muhammad Alif Ramadhan, bersama timnya memutuskan untuk menggugat UU ini ke Mahkamah Konstitusi karena tidak ditemukan dalam daftar Prolegnas dan tidak memiliki alasan kuat untuk dibahas secara mendadak.
Meskipun pemerintah dan DPR beralasan bahwa revisi UU ini bertujuan untuk menyesuaikan peran TNI dengan tantangan keamanan modern, kritik tetap bermunculan.
Banyak yang menilai bahwa UU ini berpotensi melanggar prinsip demokrasi dan reformasi TNI yang telah berjalan sejak 1998.
Dengan adanya gugatan ini, Mahkamah Konstitusi diharapkan dapat memberikan keputusan yang adil dan mempertimbangkan kepentingan rakyat dalam setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
Apakah gugatan ini akan membuahkan hasil atau justru UU ini tetap berlaku, semuanya bergantung pada proses hukum yang berjalan dalam beberapa waktu ke depan.(vip)