Mahasiswa hingga Masyarakat Sipil Angkat Bicara Soal Revisi UU TNI yang Disahkan

Mahasiswa hingga masyarakat sipil angkat bicara soal revisi uu tni yang disahkan (2)

Gelombang penolakan terhadap Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang telah disahkan DPR semakin meluas.

Tidak hanya dari kalangan akademisi, mahasiswa, dan aktivis, suara keras juga datang dari masyarakat sipil dan lembaga hak asasi manusia.

Di antara pihak yang paling vokal adalah Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Islam Indonesia (UII), serta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

UGM dan UII: Suara Kritis dari Akademisi Yogyakarta

UGM dan UII menyatakan sikap tegas menolak disahkannya RUU TNI. Kritik dari dua kampus ternama Yogyakarta ini tidak main-main.

Mereka menilai pembahasan revisi tersebut terkesan terburu-buru, tidak transparan, dan mengabaikan partisipasi publik.

Pada Selasa (18/3), ratusan mahasiswa dan perwakilan akademisi dari UGM dan UII menggelar aksi damai di halaman depan Gedung Balairung UGM.

Dalam aksi tersebut, para peserta membawa berbagai poster bertuliskan “Tolak RUU TNI”, “Tolak Dwifungsi TNI”, hingga “Kembalikan TNI ke Barak”.

Mereka menuntut agar DPR dan pemerintah segera membatalkan pengesahan revisi undang-undang tersebut.

Rektor UII, Fathul Wahid, secara tegas menyatakan keprihatinannya terhadap isi dari RUU TNI yang baru disahkan.

Ia menyebutkan bahwa revisi tersebut berpotensi besar menghidupkan kembali praktik dwifungsi TNI seperti di masa Orde Baru.

“Indonesia punya catatan kelam terkait dwifungsi ABRI di era Orde Baru. Jangan sampai sejarah buruk itu terulang,” tegas Fathul Wahid.

Menurutnya, dwifungsi TNI yang memungkinkan prajurit aktif menduduki jabatan di lembaga sipil merupakan bentuk kemunduran demokrasi dan dapat melemahkan prinsip supremasi sipil yang menjadi fondasi negara demokratis.

Ancaman Supremasi Sipil dan Potensi Pelanggaran HAM

Mahasiswa hingga masyarakat sipil angkat bicara soal revisi uu tni yang disahkan

Mahasiswa hingga Masyarakat Sipil Angkat Bicara Soal Revisi UU TNI yang Disahkan

Kekhawatiran utama yang disuarakan baik oleh UGM, UII, maupun kelompok sipil lainnya adalah ancaman terhadap supremasi sipil.

Jika TNI aktif kembali diizinkan menduduki berbagai jabatan sipil, maka akan terjadi tumpang tindih fungsi militer dan sipil, yang berisiko pada melemahnya kontrol sipil atas militer.

Lebih jauh, sejarah menunjukkan bagaimana praktik dwifungsi ABRI di masa lalu kerap berujung pada berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Rektor UII mengingatkan bahwa Indonesia sudah membayar mahal harga dari praktik semacam ini, dengan munculnya berbagai kasus represif dan pembungkaman kebebasan sipil.

Oleh sebab itu, revisi UU TNI yang memuat perluasan peran TNI di ranah sipil sangat dikhawatirkan membuka kembali potensi pelanggaran HAM serupa.

Aliansi Jogja Memanggil: Suara dari Gerakan Rakyat

Selain kalangan kampus, massa dari Aliansi Jogja Memanggil juga turun ke jalan. Mereka turut menyuarakan penolakan terhadap RUU TNI dengan tegas.

Dalam orasinya, aliansi ini menilai bahwa revisi tersebut bukan sekadar membuka jalan bagi dwifungsi TNI, melainkan juga membuka peluang multifungsi militer yang jauh lebih luas.

“RUU TNI adalah bentuk pengkhianatan terhadap semangat reformasi. Reformasi 1998 jelas memisahkan peran militer dari urusan sipil.

Jika ini dibiarkan, kita bisa kembali ke masa-masa kelam, di mana militer mengontrol banyak lini kehidupan masyarakat,” ujar salah satu orator dari Aliansi Jogja Memanggil.

Mereka menegaskan, sejarah telah mencatat bagaimana dwifungsi ABRI di masa lalu melahirkan banyak jejak represif, termasuk kejahatan HAM berat, terutama di bawah pemerintahan Presiden Soeharto.

Komnas HAM: Sorotan Terhadap Pasal 47 Ayat 2

Penolakan terhadap RUU TNI juga datang dari Komnas HAM. Lembaga ini menyoroti secara khusus Pasal 47 ayat 2 yang membuka ruang bagi prajurit TNI aktif untuk mengisi jabatan di berbagai lembaga sipil.

Anis Hidayah, Koordinator Sub-Komisi Pemajuan HAM Komnas HAM, dalam konferensi pers pada Rabu (19/3), menyatakan bahwa pasal tersebut sangat berbahaya karena berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi ABRI yang sudah dihapuskan melalui TAP MPR Nomor VII/MPR/2000.

Menurut Anis, ada setidaknya belasan jabatan sipil yang kini bisa diisi oleh prajurit aktif TNI. Bahkan, presiden memiliki kewenangan untuk menambah lembaga atau kementerian lain yang juga bisa diisi oleh militer aktif.

Ini, kata Komnas HAM, jelas bertentangan dengan prinsip demokrasi dan mengancam supremasi sipil.

“Perubahan Pasal 47 ayat 2 sangat berisiko menghidupkan kembali praktik dwifungsi yang jelas-jelas bertentangan dengan semangat reformasi dan prinsip-prinsip negara demokrasi,” tegas Anis.

Tidak Transparan dan Tergesa-gesa

Selain substansi pasal-pasal bermasalah, proses pembahasan RUU TNI juga turut mendapat sorotan tajam. Para akademisi dan masyarakat sipil menilai DPR dan pemerintah terkesan tergesa-gesa dalam mengesahkan revisi ini.

Tidak ada ruang partisipasi publik yang cukup, apalagi forum-forum diskusi yang melibatkan berbagai elemen masyarakat.

Banyak pihak menilai proses revisi ini tidak akuntabel, mengingat implikasi besarnya terhadap demokrasi di Indonesia.

Mereka menuntut agar DPR dan pemerintah membuka kembali ruang dialog dengan masyarakat dan akademisi, serta melakukan evaluasi menyeluruh terhadap dampak RUU ini terhadap kehidupan demokrasi di tanah air.

Penegasan Komitmen Reformasi

Gelombang penolakan terhadap RUU TNI menunjukkan bahwa masyarakat sipil, mahasiswa, akademisi, hingga lembaga negara seperti Komnas HAM memiliki satu suara: mempertahankan hasil reformasi 1998.

Mereka bertekad agar dwifungsi ABRI, yang selama ini menjadi momok dalam perjalanan demokrasi Indonesia, tidak kembali diberlakukan dalam bentuk apa pun.

Sebagai negara demokrasi, Indonesia telah berkomitmen untuk menempatkan militer di bawah kendali sipil, sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum.

Pembatalan RUU TNI, menurut mereka, menjadi langkah konkret untuk menjaga komitmen tersebut.

Kini, tekanan semakin menguat agar DPR dan pemerintah mendengarkan suara publik. Mahasiswa, masyarakat sipil, hingga lembaga hak asasi manusia telah menyuarakan keberatan.

Semua berharap agar revisi ini tidak menjadi langkah mundur dalam perjalanan demokrasi Indonesia.

Masyarakat menanti keberanian pemerintah dan DPR untuk mencabut atau merevisi ulang RUU TNI dengan melibatkan seluruh elemen bangsa secara terbuka.(taa)