Categories: Nasional

Kritik AS soal QRIS, Airlangga: Indonesia Terbuka untuk Semua Operator

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menanggapi secara tegas kritik Amerika Serikat terhadap sistem pembayaran nasional Indonesia, khususnya kebijakan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN).

Ia menegaskan bahwa Indonesia tidak menutup diri terhadap kehadiran dan partisipasi operator pembayaran asing, termasuk raksasa seperti Visa dan Mastercard.

Dalam konferensi pers bertajuk Perkembangan Lanjutan Negosiasi Dagang Indonesia-Amerika Serikat yang digelar secara daring pada Jumat (25/4/2025), Airlangga menepis tudingan bahwa regulasi sistem pembayaran di Indonesia menghambat operator asing masuk dan bersaing secara adil.

“Mereka (perusahaan AS) terbuka untuk masuk di dalam frontend maupun berpartisipasi. Dan itu level playing field-nya sama dengan yang lain. Jadi, ini sebetulnya hanya masalah penjelasan,” ujar Airlangga.

Kritik AS terhadap QRIS dan Sistem Pembayaran Indonesia

AS sebut QRIS batasi partisipasi asing, Indonesia sebut hanya miskomunikasi teknis.

Kritik dari Amerika Serikat terhadap Indonesia disampaikan melalui laporan National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers 2025, yang dirilis oleh Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) pada 31 Maret 2025.

Dalam laporan tersebut, USTR menyoroti bahwa kebijakan sistem pembayaran Indonesia, terutama QRIS, dianggap menyulitkan operator internasional untuk mengakses pasar Indonesia.

Menurut laporan itu, sejumlah perusahaan asal AS, termasuk lembaga keuangan dan penyedia layanan pembayaran digital, merasa tidak dilibatkan selama proses perumusan kebijakan QRIS oleh Bank Indonesia (BI).

Mereka juga mengeluhkan minimnya informasi dan ruang diskusi untuk menyampaikan masukan, sehingga merasa dipinggirkan dalam ekosistem pembayaran domestik yang semakin berkembang di Tanah Air.

USTR menyebut bahwa proses tersebut menciptakan hambatan dalam mengintegrasikan sistem pembayaran asing ke dalam infrastruktur domestik Indonesia.

Hal ini dikhawatirkan berdampak pada keadilan berkompetisi serta keterbukaan pasar digital di era globalisasi.

Pemerintah Pastikan Kesetaraan Akses

Menanggapi laporan USTR tersebut, Airlangga menegaskan bahwa tidak ada upaya eksklusifitas dalam sistem pembayaran Indonesia.

Ia menyebut bahwa semua pelaku, baik dari dalam maupun luar negeri, memiliki kesempatan yang sama untuk ikut berpartisipasi dalam sistem pembayaran nasional, termasuk dalam platform QRIS yang kini menjadi standar pembayaran digital di Indonesia.

Menurutnya, pemerintah Indonesia sejak awal berkomitmen menciptakan iklim usaha yang terbuka dan bersahabat terhadap investasi serta partisipasi asing.

Hanya saja, Airlangga mengindikasikan bahwa perbedaan persepsi dan kurangnya komunikasi bisa jadi menjadi penyebab kesalahpahaman antara kedua pihak.

Isu Mangga Dua Juga Disinggung, Pemerintah: Belum Masuk Negosiasi

Selain sistem pembayaran, USTR juga menyoroti pusat perbelanjaan Mangga Dua di Jakarta sebagai salah satu titik utama perdagangan barang bajakan di Indonesia.

Namun, Airlangga menyatakan bahwa isu tersebut sama sekali belum dibahas dalam pertemuan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat.

“Tidak ada pembahasan mengenai Mangga Dua. Ini tidak ada. Jadi bahkan kita belum bicara detail inti,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa pertemuan dagang antara delegasi Indonesia dan AS sejauh ini masih difokuskan pada pembahasan isu-isu utama yang menyangkut kerja sama perdagangan yang lebih luas, termasuk soal tarif dan peningkatan daya saing sektor industri.

Fokus Pemerintah: Penguatan Industri dan SDM

Di tengah kritik dari Amerika Serikat, pemerintah Indonesia justru menegaskan bahwa prioritas utamanya adalah membenahi sektor industri domestik.

Airlangga menyampaikan bahwa penguatan teknologi, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), serta kebijakan berbasis lingkungan atau green policy menjadi fokus utama dalam mendorong daya saing Indonesia di pasar global.

“Kita fokus pada penguatan industri nasional, teknologi, SDM, dan kebijakan hijau. Itu yang akan memperkuat posisi Indonesia dalam perdagangan global,” ujar Airlangga.

Dengan strategi tersebut, Indonesia berharap bisa meningkatkan nilai tambah industri domestik, menarik investasi asing yang sehat, serta memperkuat daya tawar dalam kerja sama dagang internasional.

Indonesia Tetap Komitmen Jaga Hubungan Dagang dengan AS

Meski menghadapi sejumlah kritik, pemerintah tetap berkomitmen menjaga hubungan baik dengan Amerika Serikat sebagai salah satu mitra dagang strategis.

Airlangga menyatakan bahwa Indonesia siap berdiskusi lebih lanjut dan menjelaskan semua kebijakan yang dianggap bermasalah, asalkan didasari itikad baik dan semangat kerja sama.

Pemerintah juga membuka ruang komunikasi dengan perusahaan-perusahaan asing untuk membahas partisipasi mereka dalam sistem pembayaran digital Indonesia, dengan tetap menjunjung kedaulatan regulasi dalam negeri dan perlindungan terhadap konsumen lokal.(vip)