
Kejagung Perkirakan Kasus Oplosan BBM Rugikan Negara hingga Rp968,5 Triliun
Praktik oplosan bahan bakar minyak (BBM) yang melibatkan PT Pertamina Patra Niaga diperkirakan menyebabkan kerugian negara hingga Rp968,5 triliun. Dugaan korupsi ini mencakup manipulasi nilai oktan BBM dengan mencampurkan RON 92 dengan RON 90.
Perhitungan sementara menunjukkan bahwa negara telah kehilangan dana sebesar Rp193,7 triliun hanya dalam satu tahun terakhir. Jika akumulasi kerugian dihitung sejak 2018, jumlahnya semakin mencengangkan.
Kasus ini pertama kali diungkapkan oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Harli Siregar. Menurutnya, jumlah tersebut baru perhitungan awal dan bisa meningkat setelah audit lebih lanjut.
Dampak ekonomi dari kasus ini sangat besar, mengingat subsidi BBM menjadi beban utama dalam anggaran negara. Kejaksaan Agung saat ini sedang melakukan investigasi mendalam untuk mengungkap seluruh jaringan pelaku.

Kerugian negara akibat korupsi PT Pertamina Patra Niaga
Modus Oplosan BBM dan Imbasnya terhadap Negara
Menurut Kejaksaan Agung, praktik ilegal ini berlangsung dalam rentang waktu 2018-2023. Dugaan kuat menyebutkan bahwa kegiatan tersebut tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga konsumen yang mendapatkan BBM berkualitas rendah.
Kejaksaan mengungkap bahwa kerugian negara mencakup beberapa aspek, seperti kerugian akibat impor minyak, pembelian BBM melalui perantara, serta subsidi yang seharusnya tidak perlu diberikan. Perhitungan awal menunjukkan angka Rp193,7 triliun untuk tahun 2023 saja.
Harli Siregar menegaskan bahwa angka ini bisa bertambah seiring dengan perkembangan penyelidikan. “Jika dirata-rata setiap tahun mencapai Rp193,7 triliun, maka total kerugian dalam lima tahun terakhir bisa mencapai Rp968,5 triliun,” ujarnya.
Selain itu, penyelidik juga bekerja sama dengan pakar ekonomi dan auditor independen untuk memastikan akurasi perhitungan kerugian tersebut. Hasil penyelidikan lebih lanjut diharapkan dapat mengungkap keseluruhan skema korupsi yang terjadi.
Awal Mula Pengungkapan Kasus
Investigasi ini bermula dari keluhan masyarakat terhadap kualitas BBM yang diduga menurun drastis. Konsumen di berbagai daerah melaporkan bahwa bahan bakar jenis Pertamax mengalami perubahan kualitas yang mencurigakan.
Dugaan awal menyebutkan bahwa kandungan dalam BBM tidak sesuai dengan standar yang dijanjikan. Kejaksaan kemudian melakukan analisis mendalam terhadap laporan masyarakat dan menemukan indikasi kecurangan.
Kasus ini semakin menarik perhatian setelah ditemukan adanya ketidakwajaran dalam alokasi subsidi BBM. Pemerintah diketahui mengalokasikan dana yang lebih besar dari seharusnya akibat manipulasi dalam distribusi bahan bakar.
Menurut Kejaksaan, para tersangka dalam kasus ini diduga membentuk sindikat yang mengatur pasokan minyak mentah serta proses distribusi BBM di dalam negeri. Sindikat ini bekerja dengan pola yang sistematis untuk mengamankan keuntungan pribadi.
Para Tersangka dan Perannya dalam Skandal Ini
Kejaksaan Agung telah menetapkan tujuh individu sebagai tersangka dalam skandal ini. Mereka berasal dari berbagai posisi strategis di PT Pertamina Patra Niaga dan perusahaan mitra terkait.
Beberapa nama yang disebut dalam kasus ini antara lain Riva Siahaan, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, serta Sani Dinar Saifuddin, Direktur Optimasi Feedstock dan Produk PT Kilang Pertamina Internasional. Selain itu, Agus Purwono yang menjabat sebagai Vice President Feedstock juga diduga terlibat dalam praktik ilegal ini.
Tersangka lainnya adalah Yoki Firnandi, Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, yang disebut berperan dalam pengadaan minyak mentah impor. Sementara itu, Muhammad Keery Andrianto Riza, Dimas Werhaspati, dan Gading Ramadan Joede diduga sebagai perantara dalam transaksi ilegal tersebut.
Penyelidikan lebih lanjut mengungkap bahwa tiga tersangka utama, yaitu Riva, Sani, dan Agus, tidak mengikuti kebijakan pemerintah mengenai penggunaan minyak mentah dari dalam negeri. Sebaliknya, mereka memilih untuk melakukan pengkondisian dalam rapat organisasi hilir guna meloloskan impor minyak dari luar negeri.
Skema Permainan Harga dan Keterlibatan Broker
Selain praktik oplosan BBM, para tersangka juga diduga terlibat dalam permainan harga melalui broker. Mereka bekerja sama dengan pihak ketiga untuk mengatur harga minyak yang dibeli dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
Harga yang ditetapkan dalam transaksi tersebut melanggar regulasi dan dibuat demi keuntungan pribadi. Akibatnya, negara harus menanggung beban biaya tambahan yang seharusnya tidak perlu terjadi.
Dalam konferensi pers yang digelar di Gedung Kejaksaan Agung, Direktur Penyidikan Jampidsus Abdul Qohar menjelaskan bahwa permainan harga ini telah berlangsung sejak tahun 2018. Modus yang digunakan adalah menciptakan ketergantungan pada minyak impor dengan alasan kebutuhan industri.
Padahal, pemerintah telah mencanangkan kebijakan untuk menggunakan minyak mentah dari produksi dalam negeri. Namun, para pelaku justru mengambil langkah sebaliknya dengan memilih jalur impor yang lebih menguntungkan bagi kelompok mereka.
Dampak Jangka Panjang bagi Perekonomian Nasional
Kasus mega korupsi ini bukan hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga berdampak luas pada perekonomian nasional. Beban subsidi yang meningkat menyebabkan pemerintah harus mengalokasikan anggaran lebih besar, yang seharusnya bisa digunakan untuk sektor lain.
Selain itu, konsumen juga menjadi korban akibat kualitas BBM yang menurun. Masyarakat harus membayar lebih mahal untuk bahan bakar yang tidak sebanding dengan harga yang mereka bayarkan.
Kejaksaan Agung menegaskan bahwa proses hukum akan terus berjalan hingga semua pihak yang terlibat mendapatkan sanksi yang sesuai. Dengan kerugian yang begitu besar, pemerintah dan aparat penegak hukum diharapkan dapat memberikan efek jera bagi pelaku korupsi di sektor energi.
Langkah Pemerintah dalam Menangani Kasus Ini
Sebagai langkah awal, pemerintah telah meningkatkan pengawasan terhadap distribusi BBM serta mekanisme impor minyak mentah. Kebijakan baru akan diterapkan guna memastikan tidak ada lagi penyimpangan dalam pengelolaan bahan bakar.
Selain itu, Kejaksaan Agung juga terus menggandeng auditor independen untuk memastikan angka kerugian negara dapat dihitung dengan akurat. Penegakan hukum terhadap para pelaku akan menjadi prioritas utama dalam proses ini.
Di sisi lain, masyarakat diharapkan untuk lebih aktif dalam melaporkan dugaan pelanggaran terkait BBM. Partisipasi publik sangat penting dalam mengawal transparansi dan akuntabilitas dalam sektor energi nasional.
Kasus dugaan korupsi di PT Pertamina Patra Niaga telah menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi negara. Dengan jumlah yang mencapai hampir Rp1.000 triliun, skandal ini menjadi salah satu yang terbesar dalam sejarah Indonesia.
Pemerintah dan aparat penegak hukum berkomitmen untuk menyelesaikan kasus ini secara tuntas. Harapannya, langkah tegas yang diambil dapat memberikan efek jera bagi pelaku korupsi serta memperbaiki tata kelola energi di masa depan. (dda)