Kenapa RUU TNI Ditolak? Ini Alasan dan Dampaknya Jika Disahkan

Ruu tni

Pembahasan mengenai Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) 2025 telah menimbulkan perdebatan di berbagai kalangan.

Banyak pihak, termasuk akademisi, pengamat hukum, dan aktivis, secara terang-terangan menolak revisi terhadap Undang-Undang (UU) No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Kekhawatiran utama mereka adalah potensi bertambahnya kewenangan TNI tanpa pengawasan yang ketat serta kemungkinan kembalinya Dwifungsi ABRI, yang pernah menjadi polemik besar dalam sejarah politik Indonesia.

Lalu, apa saja dampak dari RUU TNI 2025 jika benar-benar disahkan?

Latar Belakang Revisi UU TNI 2025

Pemerintah secara resmi menyetujui usulan DPR untuk membahas revisi UU No. 34 Tahun 2004 melalui surat Presiden Nomor R12 Tahun 2025 tertanggal 13 Februari 2025.

Rapat kerja Panitia Kerja (Panja) DPR RI bersama Pemerintah terkait RUU TNI 2025 saat ini masih berlangsung.

Rapat yang awalnya direncanakan berlangsung selama dua hari, yakni pada Jumat, 15 Maret 2025, dan Sabtu, 16 Maret 2025, ternyata belum mencapai kesepakatan final.

Pembahasan pun dilanjutkan di Gedung DPR RI guna menyelesaikan poin-poin krusial dalam revisi tersebut.

Dalam rancangan revisi ini, terdapat beberapa poin utama yang menjadi sorotan.

Salah satunya adalah pemberian hak bagi prajurit aktif TNI untuk menduduki 15 jabatan sipil strategis tanpa perlu pensiun atau mengundurkan diri dari institusi militer.

Jabatan-jabatan tersebut mencakup Mahkamah Agung (MA), Kejaksaan Agung (Kejagung), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas).

Keputusan ini menimbulkan kekhawatiran bahwa keterlibatan TNI dalam ranah sipil bisa mengganggu prinsip supremasi sipil dalam demokrasi.

Alasan Penolakan RUU TNI 2025

Ruu tni

Jika revisi ini tetap disahkan tanpa pengawasan ketat, maka ada potensi kembalinya praktik Dwifungsi TNI yang pernah menjadi permasalahan besar di masa lalu.

RUU TNI 2025 mengundang pro dan kontra. Beberapa pengamat menilai bahwa Pemerintah dan DPR harus lebih berhati-hati dalam menyusun revisi ini.

Jika tidak, perubahan yang diusulkan justru berpotensi memperbesar kewenangan TNI tanpa diimbangi mekanisme pengawasan yang kuat.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Dr. Aan Eko Widiarto, S.H., M.Hum, menegaskan pentingnya kehati-hatian dalam revisi ini agar tidak merugikan masyarakat sipil.

“Sebagai akademisi hukum, kita harus memberikan pandangan kritis dan objektif. Jangan sampai revisi ini justru memperbesar kewenangan tanpa keseimbangan pengawasan.

Kita harus memastikan bahwa perlindungan hak masyarakat tetap menjadi prioritas,” ujarnya dalam diskusi publik yang membahas potensi dampak dari RUU TNI, RUU Polri, dan RUU Kejaksaan pada 3 Maret 2025.

Sementara itu, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Nasional, Julius Ibrani, juga menyatakan kekhawatirannya mengenai potensi munculnya kembali praktik Dwifungsi TNI.

Ia mengingatkan bahwa keterlibatan militer dalam pemerintahan tanpa pengawasan ketat bisa berakibat buruk bagi demokrasi.

“Kita harus menghindari konsentrasi kekuasaan di satu institusi tanpa pengawasan yang jelas. Jika dibiarkan, masyarakat sipil bisa semakin terpinggirkan dalam sistem hukum yang tidak berimbang,” katanya.

Di sisi lain, Ketua Komisi I DPR RI, Utut Adianto, berusaha meredam kekhawatiran publik dengan memastikan bahwa revisi ini tidak akan mengancam supremasi sipil.

“Prinsip besarnya, Panglima TNI menjamin bahwa supremasi sipil tetap harus diutamakan di dalam negara demokrasi. Dalam presentasi Panglima TNI, ada pernyataan yang sangat penting yang menjadi kesimpulan kita, yakni supremasi sipil tetap menjadi pilar utama dalam negara demokratis Indonesia,” ujar Utut pada 14 Maret 2025.

Dampak Jika RUU TNI Disahkan

Jika revisi RUU TNI 2025 ini disahkan tanpa revisi yang lebih ketat dan transparan, beberapa dampak negatif bisa terjadi, di antaranya:

  1. Meningkatnya Keterlibatan Militer dalam Politik dan Pemerintahan
    Keterlibatan aktif prajurit TNI dalam jabatan-jabatan sipil dapat menggerus prinsip demokrasi. Dengan banyaknya jabatan sipil yang diisi oleh prajurit aktif, peluang warga sipil untuk berpartisipasi dalam pemerintahan menjadi semakin kecil. Ini bisa menciptakan ketidakseimbangan dalam sistem pemerintahan dan menurunkan kualitas demokrasi di Indonesia.
  2. Potensi Penyalahgunaan Kekuasaan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia
    Tanpa pengawasan yang memadai, pemberian wewenang luas kepada TNI dalam bidang sipil dapat meningkatkan potensi penyalahgunaan kekuasaan. Ini bisa berdampak pada meningkatnya pelanggaran hak asasi manusia (HAM), terutama jika militer memiliki pengaruh besar dalam sektor-sektor yang berhubungan dengan penegakan hukum dan peradilan.
  3. Terganggunya Fungsi Utama TNI sebagai Lembaga Pertahanan Negara
    Dengan adanya keterlibatan militer dalam jabatan sipil, fokus utama TNI dalam menjaga pertahanan negara bisa terganggu. Seharusnya, TNI tetap berada pada tugas pokoknya sebagai penjaga keamanan negara dari ancaman eksternal dan tidak terlibat terlalu jauh dalam urusan sipil.
  4. Pemerintah Akan Bergantung pada Militer
    Jika revisi ini disahkan, maka ketergantungan pemerintah terhadap militer bisa semakin besar. Hal ini bisa menciptakan kondisi di mana militer memiliki posisi tawar yang lebih kuat dalam kebijakan pemerintahan. Jika tidak dikontrol dengan baik, hal ini bisa memicu pemerintahan yang cenderung otoriter karena adanya campur tangan militer dalam banyak aspek kehidupan bernegara.

RUU TNI 2025 saat ini masih dalam tahap pembahasan di DPR RI. Namun, polemik yang muncul menunjukkan betapa pentingnya kehati-hatian dalam merevisi UU yang berkaitan dengan institusi pertahanan negara.

Kritik dari berbagai pihak harus menjadi bahan pertimbangan bagi Pemerintah dan DPR agar revisi ini tidak merugikan prinsip demokrasi dan supremasi sipil.

Jika revisi ini tetap disahkan tanpa pengawasan ketat, maka ada potensi kembalinya praktik Dwifungsi TNI yang pernah menjadi permasalahan besar di masa lalu.

Oleh karena itu, transparansi dan partisipasi publik dalam pembahasan revisi UU TNI menjadi hal yang sangat penting agar keseimbangan kekuasaan tetap terjaga dan tidak mengganggu tatanan demokrasi Indonesia.(vip)