Kenapa Rusia Dikecualikan dari Tarif Impor Baru Trump? Ini Alasannya!

Rusia tak masuk dalam daftar negara yang dikenai tarif impor baru oleh Presiden Trump. Kok bisa?
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali bikin gebrakan dengan kebijakan dagangnya.
Kali ini, Trump memberlakukan tarif impor baru ke lebih dari 180 negara di dunia, dengan tarif minimum 10 persen.
Tapi yang bikin publik bertanya-tanya, kenapa Rusia malah lolos dari kebijakan ini? Padahal negara itu selama ini punya hubungan yang nggak selalu mulus dengan AS.
Kebijakan tarif ini diumumkan langsung oleh Trump setelah ia mendeklarasikan keadaan darurat ekonomi nasional AS pada Rabu, 2 Maret 2025 lalu.
Dalam pernyataannya, Trump menegaskan bahwa langkah ini diambil demi memulihkan perekonomian nasional dan memperkuat posisi dagang AS di kancah internasional.
Trump beralasan, tarif impor ini dirancang untuk melindungi pekerja Amerika dari kerugian akibat defisit perdagangan yang terus membengkak.
Tarif ini mulai berlaku pada Sabtu, 5 April 2025 pukul 12:01 a.m. EDT, atau Sabtu siang waktu Indonesia.
Bahkan, untuk beberapa negara, diberlakukan tarif timbal balik atau resiprokal yang lebih tinggi dari 10 persen, dan mulai diterapkan pada Rabu, 9 April 2025 dini hari waktu setempat.
Tarif ini bakal terus berlaku sampai Presiden Trump menilai bahwa ancaman defisit dagang AS sudah bisa diatasi atau setidaknya berkurang.
Tapi menariknya, di antara ratusan negara yang kena tarif, Rusia justru nggak termasuk. Apa alasannya?
Rusia Tak Kena Tarif, Ini Penjelasannya

Keputusan Trump mengecualikan Rusia dari tarif impor baru bukan karena “mesra” dengan Kremlin, melainkan karena Rusia sudah lebih dulu dijatuhi sanksi yang cukup berat.
Meski terdengar mengejutkan, ternyata keputusan untuk mengecualikan Rusia dari tarif impor ini bukan tanpa alasan.
Berdasarkan laporan dari media Rusia, Rossiya 24 TV, pengecualian tersebut bukan karena “perlakuan istimewa” dari AS.
Sebaliknya, itu terjadi karena Rusia sejak lama sudah dikenai sanksi berat oleh negara-negara Barat, termasuk AS, akibat invasi militernya ke Ukraina pada 2022.
Jadi, dalam konteks ini, Rusia justru sudah “terkena hukuman” terlebih dahulu lewat sanksi ekonomi yang membatasi banyak sektor, mulai dari perdagangan, ekspor-impor, keuangan, hingga energi.
Penjelasan serupa juga disampaikan oleh Menteri Keuangan AS, Scott Bessent.
Ia menyebut bahwa Rusia tidak masuk dalam daftar tarif baru ini karena memang volume perdagangannya dengan AS sudah sangat turun drastis akibat sanksi-sanksi tersebut.
Jadi, mengenakan tarif tambahan ke Rusia dianggap tidak berdampak signifikan secara ekonomi.
Tapi, beberapa pengamat politik melihat ada sisi lain yang lebih simbolis dari kebijakan ini.
Alexandra Filippenko, pakar politik asal AS, mengatakan bahwa pengecualian terhadap Rusia bisa dibaca sebagai langkah simbolis di tengah dinamika geopolitik dunia. “Ini tampak seperti keringanan simbolik,” katanya, seperti dikutip dari Deutsche Welle (DW).
Banyak yang Dikritik, Termasuk Negara Kecil yang Kena Tarif
Kebijakan tarif baru Trump ini menuai kritik dari berbagai pihak, terutama karena beberapa negara yang secara logika seharusnya tidak berdampak pada perdagangan AS justru ikut kena tarif.
Contohnya, Kepulauan Heard dan McDonald—wilayah terpencil Australia di Samudra Hindia Selatan yang bahkan tidak berpenghuni. Atau Tokelau, wilayah mungil di Pasifik Selatan dengan populasi hanya sekitar 1.500 orang.
Bahkan Svalbard di Lingkaran Arktik, wilayah Norwegia yang hanya dihuni sekitar 2.500 jiwa, juga masuk dalam daftar tarif.
Kritik makin deras ketika melihat kenyataan bahwa negara-negara besar seperti Rusia justru dikecualikan, sementara banyak negara kecil yang bahkan tidak punya relasi dagang signifikan dengan AS ikut terdampak.
Negara Lain yang Juga Dikecualikan
Rusia bukan satu-satunya negara yang lolos dari kebijakan tarif baru Trump.
Berdasarkan laporan dari BBC, sejumlah negara lain juga dibebaskan dari tarif ini, antara lain Korea Utara, Belarus, Burkina Faso, Kanada, Kuba, Meksiko, Palau, Seychelles, Somalia, dan Vatikan.
Sekretaris Pers Gedung Putih, Karoline Leavitt, menegaskan bahwa negara-negara tersebut dikecualikan karena alasan tertentu, seperti hubungan diplomatik khusus, posisi ekonomi yang tidak berdampak pada defisit AS, atau sudah berada dalam daftar sanksi perdagangan AS.
Indonesia dan Negara Asia Tenggara Kena Tarif Tinggi
Sayangnya, Indonesia justru masuk dalam daftar negara yang dikenai tarif cukup tinggi oleh AS, yaitu sebesar 32 persen.
Angka ini jauh lebih besar dibandingkan negara-negara tetangga seperti Malaysia (24%), Singapura (10%), dan Filipina (17%).
Besaran tarif ini disebut didasarkan pada volume perdagangan dan tingkat pelanggaran yang dianggap merugikan ekonomi AS.
Semakin besar defisit perdagangan yang dirasakan AS terhadap suatu negara, maka semakin tinggi pula tarif yang diberlakukan.
Berikut ini beberapa contoh negara lain yang masuk dalam daftar tarif Trump:
- Tiongkok: 34%
- India: 26%
- Jepang: 24%
- Uni Eropa: 20%
- Israel: 17%
- Laos: 48%
- Lesotho: 50%
- Kamboja: 49%
- Bangladesh: 37%
- Angola: 32%
Tarif-tarif ini menunjukkan bahwa Trump serius ingin “menghukum” negara-negara yang dianggap menyumbang besar terhadap defisit perdagangan AS.
Namun, kebijakan ini juga memunculkan kekhawatiran tentang potensi perang dagang lanjutan dan dampaknya terhadap ekonomi global.
Keputusan Trump mengecualikan Rusia dari tarif impor baru bukan karena “mesra” dengan Kremlin, melainkan karena Rusia sudah lebih dulu dijatuhi sanksi yang cukup berat. Volume perdagangannya dengan AS juga sudah jauh menurun.
Namun tetap saja, kebijakan ini menuai banyak kritik karena dianggap tidak konsisten dan kurang rasional.
Di sisi lain, negara seperti Indonesia harus bersiap menghadapi dampak kebijakan ini, apalagi dengan tarif setinggi 32%. Ini bisa berdampak pada ekspor nasional, terutama di sektor manufaktur dan teknologi.
Jadi, walau kebijakan ini bermaksud melindungi ekonomi dalam negeri AS, tetap perlu dicermati bagaimana dampaknya ke perdagangan global—dan tentu saja, ke Indonesia.(vip)