Junta Militer Myanmar Tembaki Konvoi Bantuan Kemanusiaan Dari China, Ini Kronologi Lengkapnya

Junta militer myanmar tembaki konvoi bantuan kemanusiaan dari china

Pasukan militer junta Myanmar menembaki konvoi kendaraan milik Pemerintah China yang membawa bantuan darurat pascagempa pada Selasa (1/4/2025). Insiden ini terjadi di tengah bencana besar yang melanda Myanmar serta perang saudara yang masih berkecamuk.

Menurut laporan Radio Free Asia (RFA), Juru Bicara junta Myanmar, Zaw Min Tun, mengatakan bahwa konvoi yang terdiri dari sembilan kendaraan berasal dari Palang Merah China. Kendaraan tersebut sedang membawa perbekalan bantuan ketika melintas di dekat kota Nawnghkio, Negara Bagian Shan, sebelum ditembaki oleh tentara.

Penembakan ini, menurut junta, terjadi akibat kesalahpahaman terkait ancaman keamanan. Pasukan yang berjaga di dekat desa Ohmati mengklaim bahwa mereka merasa terancam sehingga melepaskan tiga tembakan dari jarak sekitar 100 meter.

“Ada kelompok keamanan di dekat desa Ohmati yang menghalangi konvoi tersebut. Dari jarak 100 meter, kelompok itu menunjuk ke langit dan melepaskan tiga tembakan,” kata Zaw Min Tun dalam keterangannya.

Namun, pernyataan dari pihak junta ini berbeda dengan laporan yang diberikan oleh Tentara Pembebasan Nasional Ta’ang (TNLA). Kelompok anti-junta tersebut menyebutkan bahwa insiden ini terjadi saat mereka tengah bersiap untuk mengawal konvoi menuju Mandalay demi memastikan keamanannya.

Konvoi tersebut merupakan bagian dari misi kemanusiaan untuk membantu para korban gempa bumi dahsyat yang mengguncang Myanmar beberapa hari sebelumnya. Gempa berkekuatan 7,7 skala Richter yang terjadi pada Jumat itu telah menewaskan lebih dari 2.800 orang serta melukai sedikitnya 4.600 lainnya.

Jumlah korban tewas dan luka-luka diperkirakan masih akan terus bertambah seiring dengan upaya pencarian dan evakuasi yang masih berlangsung. Banyak warga kehilangan tempat tinggal dan kini sangat bergantung pada bantuan kemanusiaan dari organisasi internasional.

Junta militer myanmar

Junta Militer Myanmar

Di tengah bencana ini, Myanmar juga masih berada dalam situasi perang saudara yang telah berlangsung sejak kudeta militer pada Februari 2021. Kudeta yang dilakukan oleh Min Aung Hlaing terhadap pemerintahan sipil memicu gelombang protes besar-besaran di seluruh negeri.

Demonstrasi yang berlangsung sejak kudeta dibalas dengan tindakan keras oleh junta, yang membubarkan aksi protes dengan kekerasan. Ribuan warga ditangkap, sementara banyak lainnya harus melarikan diri untuk menghindari tindakan represif dari rezim militer.

Situasi yang semakin memanas membuat berbagai kelompok etnis bersenjata turut ambil bagian dalam perlawanan terhadap junta. Mereka memandang rezim militer sebagai ancaman bagi kestabilan negara dan memilih untuk mengangkat senjata demi memperjuangkan hak mereka.

Dalam menghadapi bencana gempa bumi yang melanda Myanmar, TNLA bersama tiga kelompok sekutu lainnya, termasuk Tentara Arakan, mencoba menciptakan jeda dalam konflik. Mereka mengumumkan gencatan senjata sepihak yang akan berlangsung selama satu bulan guna memfasilitasi jalannya bantuan kemanusiaan.

Aliansi kelompok bersenjata ini berjanji untuk menahan diri dari operasi ofensif selama masa gencatan senjata. Mereka hanya akan mengambil tindakan jika terpaksa harus membela diri dari serangan yang datang dari pihak junta atau kelompok lain.

Namun, junta militer menolak gencatan senjata yang diusulkan oleh kelompok etnis bersenjata ini. Min Aung Hlaing menuduh mereka hanya memanfaatkan kesempatan untuk memperkuat posisi militer dan mengkonsolidasikan kekuatan mereka.

“Tatmadaw (militer Myanmar) tidak melancarkan serangan apa pun terhadap kamp-kamp kelompok etnis bersenjata tetapi hanya merespons ketika diserang,” ujar Min Aung Hlaing dalam sebuah pernyataan.

Ia juga mengklaim bahwa pemerintah Myanmar selalu membuka pintu untuk berdiskusi dengan kelompok etnis bersenjata guna mencapai perdamaian yang lebih efektif. Namun, banyak pihak meragukan klaim ini, mengingat sejarah junta yang terus melakukan operasi militer terhadap kelompok pemberontak.

Situasi ini semakin memperumit upaya penyaluran bantuan kemanusiaan ke wilayah-wilayah terdampak gempa di Myanmar. Ketidakstabilan politik dan konflik bersenjata membuat organisasi kemanusiaan internasional kesulitan menjangkau korban yang membutuhkan bantuan.

China, sebagai salah satu negara yang terlibat dalam upaya bantuan kemanusiaan, menyatakan keprihatinannya atas insiden penembakan terhadap konvoi mereka. Pemerintah China meminta klarifikasi dari junta Myanmar dan mendesak agar keselamatan tim kemanusiaan tetap terjamin.

Sementara itu, komunitas internasional mengecam tindakan junta yang dianggap menghambat distribusi bantuan ke wilayah-wilayah terdampak. Beberapa negara dan organisasi non-pemerintah mendesak agar akses bantuan diberikan tanpa hambatan guna memastikan bahwa korban gempa dapat segera menerima pertolongan.

Selain dampak langsung dari gempa, Myanmar juga menghadapi ancaman kelangkaan bahan makanan dan kebutuhan pokok lainnya. Infrastruktur yang rusak akibat bencana ini semakin memperburuk kondisi, terutama di tengah situasi perang yang menghambat distribusi logistik.

Masyarakat sipil Myanmar kini berada dalam kondisi yang sangat sulit, di mana banyak dari mereka kehilangan tempat tinggal serta akses terhadap kebutuhan dasar. Bantuan internasional menjadi satu-satunya harapan bagi ribuan orang yang kini harus bertahan hidup dalam kondisi darurat.

Para analis memperingatkan bahwa Myanmar berada dalam situasi krisis kemanusiaan yang semakin memburuk. Jika konflik tidak segera mereda, jumlah korban akibat kelaparan dan kekurangan layanan kesehatan bisa meningkat secara drastis dalam waktu dekat.

Dengan kondisi yang semakin tak menentu, masa depan Myanmar masih penuh ketidakpastian. Dukungan dari komunitas internasional menjadi faktor kunci dalam menekan junta agar memberikan akses kemanusiaan yang lebih luas dan mendukung proses perdamaian di negara tersebut.

Pemerintah Myanmar diharapkan dapat lebih kooperatif dalam menghadapi krisis yang terjadi. Jika tidak ada langkah konkret untuk mengatasi situasi ini, maka rakyat Myanmar akan terus menjadi korban dari ketidakstabilan politik serta bencana alam yang melanda negeri mereka. (dda)