Categories: Kesehatan

Gagal Ginjal Kronis dan Akut, Mana yang Kondisinya Paling Parah?

Ginjal adalah organ vital yang bekerja keras setiap hari untuk menyaring darah, membuang limbah, serta menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh.

Namun, ketika fungsi ginjal terganggu, seseorang akan dihadapkan pada dua kondisi serius yaitu gagal ginjal kronis dan akut, dua istilah medis yang sering terdengar, tetapi masih sering disalahpahami oleh banyak orang.

Banyak yang mengira kedua kondisi ini sama parahnya, padahal keduanya punya perbedaan mendasar dari segi penyebab, gejala, hingga proses pemulihannya.

Oleh karena itu, penting untuk memahami secara mendalam perbedaan antara gagal ginjal kronis dan akut, agar bisa mengambil langkah yang tepat dalam menjaga kesehatan ginjal sejak dini.

Gagal Ginjal Kronis dan Akut, Apa Bedanya?

Secara definisi medis, gagal ginjal akut adalah kondisi ketika fungsi ginjal menurun secara tiba-tiba dalam hitungan jam hingga beberapa hari.

Penyebabnya bisa karena dehidrasi berat, infeksi parah, reaksi obat tertentu, atau penyumbatan saluran kemih.

Kondisi ini tergolong darurat medis karena bisa berkembang sangat cepat, namun kabar baiknya adalah masih ada kemungkinan untuk pulih sepenuhnya bila ditangani dengan cepat.

Sebaliknya, gagal ginjal kronis berkembang secara perlahan dan bertahap selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.

Penyebab utamanya adalah penyakit jangka panjang seperti diabetes, tekanan darah tinggi, atau gangguan autoimun.

Sayangnya, pada kondisi kronis ini, kerusakan ginjal bersifat permanen dan berskala progresif, artinya fungsi ginjal akan terus menurun seiring waktu dan tidak bisa kembali seperti semula.

Jika berbicara soal durasi dan progresivitas penyakit, maka gagal ginjal kronis jelas lebih lama, tetapi lebih ‘tenang’ dibandingkan gagal ginjal akut.

Penderita gagal ginjal kronis sering tidak menyadari penyakitnya hingga mencapai stadium lanjut, karena gejalanya cenderung samar seperti mudah lelah, mual, atau pembengkakan pada kaki.

Inilah mengapa banyak pasien gagal ginjal kronis baru datang ke dokter saat sudah memasuki tahap stadium akhir, di mana dibutuhkan terapi pengganti ginjal, seperti cuci darah atau transplantasi.

Sementara itu, gagal ginjal akut bisa terjadi tiba-tiba, misalnya karena syok sepsis, keracunan, atau cedera berat yang menyebabkan ginjal gagal menyaring zat racun dalam tubuh.

Meski terdengar lebih gawat, gagal ginjal akut sebenarnya lebih bisa sembuh total asal penyebabnya diatasi segera, dan belum ada kerusakan permanen pada jaringan ginjal.

Mana yang Lebih Parah, Gagal Ginjal Kronis atau Akut?

Pertanyaan ini sebenarnya tidak memiliki jawaban yang hitam-putih, karena masing-masing kondisi memiliki risiko dan dampak yang berbeda tergantung dari seberapa cepat pasien mendapat penanganan.

Namun, jika ditilik dari jangka panjang dan risiko komplikasi, gagal ginjal kronis cenderung lebih berat karena sifatnya permanen dan progresif.

Seseorang dengan idap gagal ginjal kronis harus mengatur pola makan ketat, menjalani kontrol rutin, dan mengonsumsi obat setiap hari untuk memperlambat laju kerusakan ginjal.

Bahkan, jika sudah mencapai tahap akhir, maka satu-satunya pilihan adalah terapi dialisis seumur hidup atau transplantasi ginjal—yang tentu tidak mudah secara fisik maupun finansial.

Di sisi lain, gagal ginjal akut bisa memicu komplikasi seperti ketidakseimbangan elektrolit, kelebihan cairan, hingga gangguan jantung dalam waktu singkat.

Namun, dengan perawatan yang cepat dan tepat, fungsi ginjal bisa kembali normal dalam waktu beberapa minggu hingga bulan.

Dengan demikian, gagal ginjal kronis dan akut punya tantangan masing-masing. Kondisi parah atau tidaknya sangat tergantung dari seberapa cepat ditangani serta kondisi umum pasien.

Mengenal Stadium Gagal Ginjal Kronis

Untuk menilai tingkat keparahan gagal ginjal kronis, dokter biasanya menggunakan perhitungan laju filtrasi glomerulus (GFR) berdasarkan kadar kreatinin dalam darah.

GFR mengukur seberapa baik ginjal mampu menyaring limbah dari darah. Gagal ginjal kronis dibagi menjadi 5 stadium, di antaranya sebagai berikut.

  • Stadium 1: Fungsi ginjal masih normal, tapi ada tanda kerusakan seperti protein dalam urin.
  • Stadium 2: Fungsi ginjal sedikit menurun (GFR 60–89).
  • Stadium 3: Fungsi ginjal menurun sedang (GFR 30–59).
  • Stadium 4: Fungsi ginjal menurun berat (GFR 15–29).
  • Stadium 5: Gagal ginjal tahap akhir (GFR <15) dan biasanya membutuhkan dialisis atau transplantasi.

Semakin tinggi stadiumnya, semakin besar risiko komplikasi seperti anemia, gangguan jantung, tulang rapuh, dan beban biaya pengobatan yang makin besar pula.

Pemeriksaan Rutin dalam Mencegah Gagal Ginjal

Salah satu kunci untuk mencegah gagal ginjal akut maupun kronis adalah dengan deteksi dini.

Pemeriksaan darah untuk melihat kadar kreatinin dan ureum, serta tes urine untuk mendeteksi proteinuria, bisa menjadi langkah awal untuk mengecek kondisi ginjal.

Bagi yang memiliki riwayat penyakit kronis seperti diabetes dan hipertensi, pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan secara berkala, minimal 1–2 kali dalam setahun.

Begitu pula bagi lansia, perokok berat, atau yang rutin mengonsumsi obat penghilang nyeri jenis NSAID, karena mereka termasuk dalam kelompok risiko tinggi.

Itulah, penjelasan sekilas tentang perbedaan penyakit gagal ginjal kronis dan akut yang masih banyak disalahpahami. Semoga bermanfaat! (fam)