Emas Hampir Tembus Rp2 Juta/Gram, Ekonom Justru Lebih Sarankan Investasi Ini

Ekonom dan praktisi pasar modal Hans Kwee tidak menyarankan investasi emas meskipun harganya sedang tinggi

Harga emas kembali meroket, bahkan saat ini nyaris mencapai Rp 2 juta untuk setiap gramnya. Kenaikan ini memicu animo masyarakat untuk terus membeli logam mulia sebagai bentuk perlindungan aset mereka.

Di tengah ketidakpastian global yang membayangi tahun 2025, emas dianggap sebagai safe haven oleh sebagian besar investor. Namun, menurut ekonom dan praktisi pasar modal Hans Kwee, keputusan membeli emas saat harga sedang tinggi perlu dipertimbangkan ulang.

Hans menilai bahwa potensi kenaikan harga emas saat ini sudah mulai terbatas. Maka dari itu, ia lebih menyarankan masyarakat beralih ke Surat Berharga Negara (SBN) atau obligasi pemerintah sebagai alternatif investasi.

Dalam pandangannya, SBN justru memberikan peluang lebih baik karena bisa dibeli saat imbal hasil atau yield sedang meningkat. Dengan begitu, investor bisa memperoleh keuntungan dari bunga yang ditawarkan oleh negara.

“Emas memang masih menarik, tapi saat ini kurang tepat untuk membeli karena kenaikannya sudah terbatas,” kata Hans. Ia menambahkan, “Lebih bijak membeli obligasi pemerintah ketika yield sedang naik.”

Hans juga menjelaskan bahwa naiknya harga emas global saat ini menandakan adanya tekanan pada kondisi ekonomi dunia. Ketegangan dagang, terutama antara Amerika Serikat dan China, memicu kekhawatiran akan resesi global.

Situasi ini mendorong para investor ramai-ramai membeli emas sebagai instrumen pelindung nilai. Selain itu, pelemahan nilai tukar dolar AS turut mendukung penguatan harga emas.

“Pelemahan dolar AS menandakan dunia mulai kehilangan kepercayaan pada perekonomian Amerika karena konflik dagang tersebut,” ujar Hans. Di tengah kondisi seperti ini, investor global biasanya memilih aset yang lebih aman dan konsisten.

Sementara itu, dari sisi obligasi negara, kinerjanya terpantau cukup positif di tengah gejolak pasar saham. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa minat investor terhadap Surat Utang Negara (SUN) mengalami lonjakan signifikan.

Pada lelang SUN tanggal 18 Maret 2025, pemerintah menargetkan indikatif sebesar Rp 26 triliun. Namun, minat pasar jauh melampaui ekspektasi dengan total penawaran masuk mencapai 2,38 kali dari target tersebut.

Dari total penawaran tersebut, sekitar Rp 13,95 triliun atau 22,59 persen berasal dari pihak investor luar negeri. Angka ini mencerminkan kepercayaan tinggi terhadap kredibilitas fiskal Indonesia di tengah ketidakpastian global.

Hans Kwee pun menekankan pentingnya diversifikasi dalam mengelola portofolio investasi. Menurutnya, memiliki berbagai instrumen investasi bisa meminimalkan risiko dan menjaga kestabilan aset di tengah gejolak ekonomi.

Ia menyarankan alokasi aset yang seimbang dengan komposisi 50 persen dana tunai (cash), 30-40 persen pada obligasi, dan sisanya sebesar 10-20 persen di saham. “Dengan memiliki cukup cash, investor bisa tetap fleksibel saat pasar bergerak fluktuatif,” jelas Hans.

Alokasi ke obligasi, lanjutnya, juga memberikan perlindungan dari risiko pasar yang tidak menentu. Sedangkan saham tetap perlu dimiliki dalam porsi kecil sebagai potensi pertumbuhan jangka panjang.

Dengan strategi alokasi seperti ini, investor tidak hanya bisa menjaga nilai kekayaannya, tetapi juga menangkap peluang dari berbagai sektor. Investasi bukan hanya soal keuntungan, tetapi juga soal kesiapan menghadapi risiko.

Dalam kondisi global yang terus berubah cepat, keputusan investasi harus semakin cermat dan adaptif. Oleh karena itu, pemahaman terhadap instrumen seperti emas dan SBN sangat penting untuk membentuk portofolio yang tangguh.

Investasi emas tetap memiliki daya tarik, namun di tengah harga yang sudah tinggi, perlu pertimbangan lebih matang. SBN kini muncul sebagai pilihan yang lebih stabil dan menjanjikan imbal hasil yang kompetitif.

Bagi investor yang ingin menjaga nilai aset sekaligus mendapatkan potensi keuntungan lebih pasti, obligasi pemerintah bisa menjadi opsi cerdas di tahun 2025. Dengan strategi yang tepat, tantangan ekonomi global pun bisa diubah menjadi peluang. (dda)