Boeing dan Konsumen Jadi Korban Konflik Dagang AS-China, Trump Minta Negosiasi

Trump mengajak China untuk melakukan negosiasi
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali menyuarakan ajakan agar China segera menghubungi pihaknya untuk memulai negosiasi dagang. Langkah ini diambil sebagai upaya menyelesaikan konflik perdagangan yang terus meningkat antara dua negara adidaya tersebut.
Dalam pernyataan yang dibacakan oleh Sekretaris Pers Gedung Putih, Karoline Leavitt, Trump menegaskan bahwa bola kini ada di tangan China. Menurutnya, AS tidak dalam posisi harus membuat kesepakatan, melainkan China yang perlu mengajukan diri terlebih dahulu.
Trump menyebut bahwa tidak ada perbedaan besar antara China dan negara lain kecuali dalam hal ukuran. Ia menekankan bahwa yang diincar oleh China adalah hal yang sama diinginkan banyak negara, yakni akses terhadap konsumen Amerika yang memiliki daya beli tinggi.
Pernyataan itu menekankan bahwa hubungan tegang antara Amerika Serikat dan China masih belum mengalami pelonggaran. Konflik perdagangan antara keduanya terus menimbulkan kebijakan balasan yang semakin agresif dari masing-masing pihak.
Salah satu langkah terbaru dilakukan oleh China dengan meminta maskapai nasionalnya menghentikan pengadaan jet dari Boeing Co. Kebijakan ini diyakini sebagai bentuk pembalasan atas keputusan Trump yang menaikkan tarif impor barang-barang China hingga 145%.
Presiden Trump pun tidak tinggal diam, dan pada hari Selasa, ia menyampaikan kritik tajam terhadap China melalui unggahan di media sosial. Ia mengungkapkan bahwa pemerintah China telah membatalkan perjanjian besar dengan Boeing yang sebelumnya tercapai pada masa jabatan pertamanya.
Sementara itu, Gedung Putih menjelaskan bahwa pemerintahan Trump sedang melakukan pembicaraan dengan banyak mitra dagang lainnya. Tujuannya adalah untuk meredakan hambatan perdagangan global, sebagai imbalan atas keringanan tarif tinggi yang diberlakukan AS terhadap mereka.
Keringanan tersebut sempat diberikan dengan menunda tarif selama 90 hari, dimulai sejak 10 April lalu. Penangguhan ini dimaksudkan untuk membuka ruang negosiasi lebih lanjut sebelum sanksi perdagangan diberlakukan secara penuh.
Namun, hingga pertengahan April, dialog antara Washington dan Beijing masih berjalan di tempat. Alih-alih meredakan situasi, kedua belah pihak saling meningkatkan tensi dengan retorika keras dan kebijakan tarif baru yang semakin tinggi.
China bahkan mengumumkan bahwa mulai 12 April, mereka akan memberlakukan tarif sebesar 125% terhadap seluruh barang impor asal Amerika Serikat. Kebijakan ini merupakan kelanjutan dari sikap balasan China sejak Trump mengenakan tarif 34% terhadap barang China pada 2 April.

Amerika vs China
Setiap kali China menerapkan kebijakan balasan, Trump menanggapi dengan meningkatkan tarif secara lebih tinggi. Pola ini menunjukkan bahwa ketegangan perdagangan berubah menjadi semacam “perang tarif” tanpa akhir yang jelas.
Pemerintah AS tetap bersikukuh bahwa inisiatif perdamaian harus datang dari pihak China. Gedung Putih bahkan menyebut bahwa pembicaraan dagang tidak akan dimulai jika Beijing tidak lebih dulu menghubungi dan menunjukkan keseriusan.
Namun di sisi lain, China merasa tidak mendapat kejelasan mengenai apa sebenarnya tuntutan utama dari pihak Amerika Serikat. Hal ini menyebabkan kebingungan di pihak Beijing mengenai langkah yang harus mereka ambil.
Ketegangan perdagangan antara AS dan China membawa dampak besar terhadap ekonomi global. Banyak negara ikut terdampak karena kedua negara tersebut memainkan peran penting dalam rantai pasok internasional.
Konflik ini juga memberikan tekanan pada dunia usaha, terutama perusahaan-perusahaan multinasional yang memiliki ketergantungan besar terhadap pasar global. Sektor manufaktur, teknologi, hingga penerbangan mulai merasakan dampaknya.
Perusahaan seperti Boeing menjadi sorotan utama karena kontrak besar mereka dengan China berisiko batal. Situasi ini memicu kekhawatiran investor dan membuat saham perusahaan besar berfluktuasi tajam di pasar modal.
Pakar ekonomi memperingatkan bahwa jika perang dagang ini terus berlanjut tanpa solusi konkret, pertumbuhan ekonomi global bisa terganggu. Ketidakpastian pasar dapat menahan laju investasi dan memicu perlambatan ekonomi di sejumlah sektor.
Sementara itu, pihak pemerintahan Trump tetap menyatakan bahwa kebijakan tarif tinggi bertujuan untuk melindungi industri domestik. Mereka percaya bahwa tekanan ekonomi terhadap China dapat memaksa Beijing untuk menyetujui kesepakatan yang lebih adil bagi Amerika.
Namun, pendekatan keras ini justru membuat proses negosiasi menjadi semakin sulit. China diketahui lebih memilih menunggu ketegangan mereda daripada terburu-buru menyetujui kesepakatan di bawah tekanan.
Kedua belah pihak kini berada dalam posisi saling menunggu, menciptakan kebuntuan yang semakin dalam. Dunia usaha dan komunitas internasional terus mendorong agar kedua negara segera duduk bersama untuk mencari jalan keluar yang damai.
Jika tidak ada langkah signifikan dalam waktu dekat, bukan tidak mungkin perang dagang ini akan berkembang menjadi konflik ekonomi jangka panjang. Ini tentu bukan kabar baik, terutama bagi negara-negara berkembang yang sangat bergantung pada stabilitas pasar global.
Kepastian hukum dagang dan kejelasan regulasi menjadi faktor penting bagi investor. Ketegangan seperti ini hanya akan menciptakan risiko tambahan dan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi dunia.
Untuk saat ini, harapan masih tertuju pada kemungkinan adanya komunikasi terbuka antara AS dan China. Meskipun kelihatannya mustahil, pergeseran pendekatan diplomasi tetap memungkinkan jika ada dorongan politik dan tekanan ekonomi yang cukup besar.
Perusahaan, pelaku usaha, dan konsumen tentu berharap konflik ini segera berakhir. Stabilitas perdagangan internasional menjadi kunci utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang merata dan berkelanjutan.
Dengan terus meningkatnya eskalasi, negosiasi yang damai kini menjadi kebutuhan mendesak. AS dan China harus segera menemukan titik temu demi kepentingan bersama dan kestabilan global. (dda)