Categories: Berita

Berapa Harta Arif Nuryanta? Ini Rinciannya di LHKPN, Tak Sesuai Dugaan Suap!

Dunia peradilan kembali diguncang oleh kabar tak sedap. Kali ini datang dari nama besar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan: Hakim Muhammad Arif Nuryanta, yang diduga menerima suap senilai Rp60 miliar.

Angka yang sangat mencengangkan, apalagi jika dibandingkan dengan laporan kekayaan resminya dalam LHKPN yang hanya sekitar Rp2,25 miliar.

Kasus ini pun menarik perhatian luas, tidak hanya karena nilai suapnya yang fantastis, tapi juga karena keterlibatan sosok penting di lembaga peradilan yang seharusnya menjunjung tinggi integritas dan keadilan.

Siapa Arif Nuryanta?

Arif Nuryanta dikenal publik sebagai Ketua PN Jakarta Selatan, salah satu pengadilan paling sibuk dan strategis di Indonesia.

Sebelumnya, ia menjabat sebagai Ketua PN Purwokerto dan beberapa kali menangani perkara besar, seperti kasus penembakan Laskar FPI dan perkara suap auditor BPK Riau. Dari sisi karier, Arif tampak memiliki rekam jejak yang solid.

Namun, semua itu kini dipertanyakan kembali menyusul statusnya sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap berkaitan dengan perkara ekspor minyak sawit mentah (CPO) oleh tiga raksasa sawit: Wilmar Group, Musim Mas Group, dan Permata Hijau Group.

Peran Arif dalam Dugaan Suap

Menurut keterangan resmi dari Kejaksaan Agung, Arif Nuryanta diduga kuat ikut mengatur komposisi majelis hakim untuk memenangkan tiga perusahaan sawit yang sebelumnya ditetapkan sebagai terdakwa dalam perkara merugikan negara.

Suap senilai Rp60 miliar diduga diberikan agar hakim-hakim tersebut menjatuhkan vonis bebas.

Uang suap itu disalurkan melalui Panitera Wahyu Gunawan, yang juga sudah ditetapkan sebagai tersangka.

Peran Arif sebagai Ketua PN disebut sangat krusial dalam memastikan vonis bebas diberikan—baik secara langsung maupun tidak langsung.

LHKPN Tak Mencerminkan Gaya Hidup?

PN Jaksel

Berdasarkan penelusuran data publik LHKPN dari KPK, Arif terakhir kali melaporkan kekayaannya pada tahun 2021. Saat itu, total kekayaannya tercatat Rp2.250.651.709, yang terdiri dari:

  • Tanah dan bangunan: senilai Rp1,4 miliar, tersebar di wilayah Sleman dan Bantul, Yogyakarta.
  • Kendaraan: 1 unit mobil Toyota Avanza (2016) dan 1 unit sepeda motor (2014), dengan nilai total sekitar Rp100 juta.
  • Kas dan setara kas: sekitar Rp700 juta.
  • Utang: nihil.

Hingga kini, Arif belum memperbarui laporan kekayaannya di LHKPN setelah pindah ke Jakarta Selatan, padahal sebagai pejabat publik, pembaruan setiap tahun adalah kewajiban hukum.

Perbedaan mencolok antara harta dalam LHKPN dan nilai dugaan suap membuka kemungkinan bahwa ada kekayaan lain yang belum dilaporkan, atau dialihkan melalui cara-cara terselubung seperti penggunaan nama orang lain (nominee), investasi tak tercatat, hingga rekening yang tidak dilaporkan secara resmi.

Mengapa Ini Jadi Sorotan?

Kepatuhan melaporkan LHKPN merupakan indikator penting integritas pejabat publik. Jika seorang hakim agung saja tidak transparan, bagaimana publik bisa percaya pada sistem peradilan yang mereka wakili?

Kasus ini juga menjadi peringatan bahwa banyak pejabat tinggi belum melihat LHKPN sebagai instrumen penting dalam membangun transparansi dan mencegah praktik korupsi.

Padahal, laporan ini bisa menjadi awal dari investigasi jika ditemukan pertumbuhan kekayaan yang tidak wajar.

Reaksi Publik dan Lembaga Terkait

Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) menyatakan dukungan terhadap langkah cepat Kejagung dalam penanganan kasus ini.

MA menyatakan akan menghormati proses hukum, meskipun belum memberikan sanksi etik apapun kepada Arif.

Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga dikabarkan mulai memantau perkembangan kasus ini, terutama karena adanya potensi pelanggaran kewajiban pelaporan kekayaan dan kemungkinan tindak pidana pencucian uang.

Masyarakat sipil, melalui berbagai LSM dan organisasi pengawas peradilan, mendesak agar investigasi diperluas, termasuk memeriksa aset-aset milik Arif dan keluarganya yang mungkin tidak terdaftar secara resmi.

Perlu Reformasi LHKPN?

Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara sebenarnya adalah alat penting yang bisa digunakan untuk mencegah dan mengungkap korupsi.

Namun, banyak pihak menilai mekanisme pelaporan saat ini masih bersifat formalitas. Verifikasi yang dilakukan pun cenderung administratif tanpa investigasi mendalam, apalagi jika tidak ada laporan atau temuan awal.

Kasus Arif Nuryanta seharusnya menjadi momentum untuk memperbaiki sistem ini. Pemerintah bisa memperkuat fungsi pengawasan dengan menambah audit kekayaan secara berkala, serta memberikan sanksi lebih tegas terhadap pejabat yang tidak patuh.

Kasus suap yang melibatkan Arif Nuryanta bukan sekadar urusan individu. Ini adalah alarm keras bahwa praktik jual beli putusan masih marak di pengadilan, bahkan di lembaga seprestisius PN Jakarta Selatan.

Ketika seorang Ketua Pengadilan yang tercatat hanya punya harta Rp2 miliar bisa terlibat suap hingga Rp60 miliar, artinya ada keropos serius dalam sistem.

Jika tidak segera diperbaiki, publik pun akan semakin kehilangan kepercayaan terhadap lembaga hukum yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan.

Semoga kasus ini bisa jadi pelajaran dan sekaligus titik tolak untuk reformasi besar-besaran di dunia hukum Indonesia. (ctr)