Perbedaan Zonasi PPDB dan Domisili SPMB
Pada tahun 2025, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) Indonesia mengubah sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB) dengan mengganti istilah jalur zonasi menjadi sistem domisili dalam penerimaan murid baru.
Perubahan kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kedekatan antara calon murid dengan sekolah dan mengurangi potensi manipulasi data domisili yang sering terjadi dalam sistem zonasi sebelumnya.
Zonasi adalah jalur penerimaan peserta didik baru berdasarkan jarak geografis tempat tinggal calon murid terhadap sekolah yang terdekat. Sebelumnya, sistem zonasi ini dirancang untuk memastikan bahwa murid mendapatkan akses ke sekolah yang ada di sekitar domisilinya.
Berdasarkan peraturan yang berlaku dalam Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021, jalur zonasi terbagi menjadi beberapa kategori, antara lain jalur afirmasi, jalur perpindahan tugas orang tua/wali, dan jalur prestasi.
Kebijakan zonasi memiliki tujuan untuk meratakan kesempatan pendidikan di berbagai daerah. Sebagai contoh, dalam ketentuan zonasi untuk tingkat pendidikan dasar, seperti SD, kuota penerimaan jalur zonasi adalah minimal 70% dari daya tampung sekolah. Sedangkan untuk tingkat SMP dan SMA, masing-masing diatur minimal 50% dan 50% dari total daya tampung sekolah.
Namun, meskipun memiliki tujuan mulia, sistem zonasi memiliki beberapa kekurangan, seperti penyalahgunaan data domisili. Banyak orang tua yang memindahkan tempat tinggal (dengan memanipulasi kartu keluarga) agar anak-anak mereka bisa diterima di sekolah yang dianggap lebih baik atau memiliki fasilitas lebih lengkap.
Pada sistem penerimaan murid baru (SPMB) yang akan diterapkan mulai 2025, jalur zonasi diganti dengan jalur domisili. Jalur domisili ini didasarkan pada wilayah administratif yang ditetapkan oleh pemerintah daerah yang sesuai dengan tempat tinggal calon murid.
Menurut Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, dengan kebijakan baru ini, diharapkan dapat tercapai tujuan mendekatkan tempat tinggal calon murid dengan sekolah. Dalam penerapan domisili, yang diperhitungkan adalah kedekatan geografis antara rumah calon murid dan sekolah, bukan hanya batas wilayah administrasi.
Sebagai contoh, jika ada calon murid yang tinggal di daerah perbatasan antar kota, seperti Surabaya dan Sidoarjo, maka yang dipertimbangkan adalah jarak antara tempat tinggal mereka dengan sekolah yang ada, bukan perbedaan wilayah administratif antara kedua kota tersebut.
Perbedaan Zonasi PPDB Dan Domisili SPMB Di Tahun 2025
Salah satu aspek yang juga mengalami perubahan dalam kebijakan penerimaan murid baru ini adalah perbedaan kuota yang ditetapkan untuk masing-masing jalur. Di bawah sistem zonasi, kuota jalur zonasi cukup besar, bahkan mencapai 70% untuk tingkat SD dan 50% untuk tingkat SMP dan SMA.
Sedangkan untuk sistem SPMB yang baru, kuota untuk jalur domisili juga diperkirakan akan bervariasi. Misalnya, untuk jenjang SD, kuota jalur domisili tetap minimal 70% karena distribusi sekolah dasar di Indonesia yang sudah cukup merata. Untuk jenjang SMP, kuota minimal untuk jalur domisili diperkirakan akan berada pada angka 40%, dan untuk SMA, kuota jalur domisili diperkirakan menjadi 30%.
Selain itu, penting juga dicatat bahwa pada tingkat SMA, penerimaan peserta didik baru akan dilakukan lintas kabupaten/kota dalam satu provinsi, yang merupakan perubahan signifikan dibandingkan dengan kebijakan sebelumnya.
Salah satu tujuan utama dari penggantian sistem zonasi dengan domisili adalah untuk mencegah kecurangan dalam proses pendaftaran. Sebelumnya, banyak ditemukan praktik manipulasi tempat tinggal atau pemindahan Kartu Keluarga (KK) oleh calon murid dan orang tua agar anak-anak mereka bisa diterima di sekolah-sekolah favorit.
Menurut Staf Ahli Regulasi dan Hubungan Antar-Lembaga Kemendikdasmen, Biyanto, sistem domisili ini diharapkan bisa mengatasi masalah tersebut dengan cara memperhatikan kedekatan jarak rumah dengan sekolah yang bersangkutan.
Sebagai contoh, jika seseorang yang tinggal di kota besar seperti Surabaya ingin mendaftarkan anaknya ke sekolah di Sidoarjo, maka yang lebih diperhitungkan adalah seberapa dekat tempat tinggal mereka dengan sekolah tersebut, bukan apakah mereka berada di wilayah administratif yang sama atau tidak.
Sistem domisili dalam SPMB memberikan berbagai manfaat bagi masyarakat, di antaranya:
Dengan mendekatkan calon murid dengan sekolah yang ada di sekitar tempat tinggal mereka, sistem domisili memungkinkan lebih banyak siswa yang mendapatkan akses pendidikan dengan mudah. Hal ini berpotensi mengurangi kesenjangan antara sekolah di daerah perkotaan dan pedesaan.
Penerapan sistem domisili bertujuan untuk meminimalkan praktik manipulasi data domisili yang sering terjadi pada sistem zonasi sebelumnya. Dengan memperhatikan kedekatan tempat tinggal dan sekolah, maka calon murid yang tinggal di daerah yang lebih jauh dari sekolah tertentu tidak bisa memanipulasi data untuk masuk ke sekolah favorit.
Dengan sistem domisili yang lebih adil dan merata, sekolah-sekolah di berbagai daerah akan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menerima calon murid dari berbagai latar belakang sosial dan ekonomi. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan di seluruh wilayah Indonesia.
Secara keseluruhan, perubahan dari sistem zonasi PPDB menjadi sistem domisili SPMB pada tahun 2025 diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi sistem pendidikan di Indonesia. Meskipun ada tantangan dalam pelaksanaannya, seperti penyesuaian kuota dan penerapan peraturan yang lebih ketat, kebijakan ini bertujuan untuk menciptakan pendidikan yang lebih merata dan adil bagi seluruh anak bangsa.
Bagi calon murid dan orang tua, penting untuk memahami perbedaan antara kedua sistem ini dan mengikuti prosedur yang berlaku sesuai dengan kebijakan terbaru. Dengan pemahaman yang lebih baik, diharapkan sistem domisili ini akan memberikan manfaat yang maksimal bagi kemajuan dunia pendidikan Indonesia. (WAN)