Apindo bilang batas usia bukan untuk diskriminasi, tapi buat mempermudah seleksi awal
KLIKBERITA24.COM - Apindo akhirnya memberi penjelasan resmi soal alasan masih ada batas usia dalam lowongan kerja di beberapa perusahaan. Ketua Umum Apindo, Shinta Kamdani, menegaskan bahwa batasan usia bukan ditujukan untuk mendiskriminasi, tetapi lebih sebagai bagian dari mekanisme penyaringan awal dalam proses rekrutmen tenaga kerja.
Shinta menjelaskan bahwa dalam praktiknya, dunia usaha kerap dihadapkan pada tantangan yang signifikan, terutama ketika jumlah pelamar sangat tinggi dan sumber daya untuk memproses rekrutmen terbatas. Dalam kondisi seperti itu, perusahaan membutuhkan cara yang efisien dan terukur untuk mempersempit ruang seleksi sejak awal.
Mengutip pernyataannya di detikcom, Shinta menjelaskan bahwa batas usia sering dipakai sebagai penyaringan awal, bukan bentuk diskriminasi, tapi untuk menyesuaikan kebutuhan kerja dan mempermudah proses rekrutmen.
Ia menekankan bahwa kriteria usia dipakai bukan karena pandangan subjektif terhadap kelompok usia tertentu, melainkan agar proses rekrutmen dapat berjalan lebih fokus sesuai kebutuhan posisi yang ditawarkan.
Namun demikian, Shinta menyampaikan apresiasinya terhadap kebijakan pemerintah yang baru-baru ini diterbitkan. Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor M/6/HK.04/V/2025 yang melarang diskriminasi dalam proses rekrutmen, termasuk ketentuan batas usia.
Langkah ini menurutnya merupakan bagian dari upaya untuk menciptakan pasar kerja yang lebih inklusif dan adil bagi seluruh kelompok usia. Apindo, kata Shinta, menghormati inisiatif pemerintah ini sebagai dorongan positif dalam menata ulang sistem ketenagakerjaan yang lebih setara.
Shinta menegaskan bahwa prinsip non-diskriminasi adalah kunci untuk menciptakan pasar kerja yang adil dan kompetitif. Ia melihat bahwa penghapusan batas usia membuka akses kerja yang lebih merata dan berpotensi mengurangi hambatan struktural bagi pencari kerja yang lebih senior.
Meski begitu, Shinta menilai bahwa diskusi publik tidak seharusnya hanya berfokus pada aspek administratif dalam seleksi kerja, seperti soal usia. Menurutnya, tantangan utama sektor ketenagakerjaan justru terletak pada kurangnya ketersediaan lapangan kerja yang memadai.
Ia menjelaskan bahwa apabila jumlah lowongan kerja meningkat secara signifikan, maka akses kerja bagi berbagai kelompok usia juga akan terbuka lebih luas secara otomatis. Dengan kata lain, perluasan kesempatan kerja menjadi fondasi penting untuk mengatasi ketimpangan dalam proses seleksi.
“Ketika jumlah lowongan kerja meningkat dan kualitas pertumbuhan ekonomi lebih berkualitas, maka akses kerja bagi seluruh kelompok usia pun akan terbuka lebih luas tanpa harus terlalu bergantung pada instrumen seleksi administratif seperti batas usia,” lanjutnya.
Dalam pandangannya, penguatan ekonomi nasional melalui penciptaan lapangan kerja yang berkelanjutan akan menciptakan pasar tenaga kerja yang lebih dinamis. Hal ini perlu diimbangi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia, yang saat ini masih menjadi tantangan tersendiri.
Shinta mengatakan ada gap besar antara keterampilan pencari kerja dan kebutuhan industri. Untuk itu, solusi jangka panjang yang dibutuhkan bukan hanya soal regulasi, tapi juga program pelatihan kerja yang relevan dan responsif terhadap perkembangan industri.
Ia menyoroti pentingnya program reskilling dan upskilling sebagai cara untuk memperkuat kapasitas tenaga kerja agar mampu beradaptasi dengan perubahan pasar. Pelatihan yang berkelanjutan dan terstruktur akan meningkatkan daya saing pekerja di berbagai kelompok usia.
Karena itu, Shinta menekankan pentingnya reskilling dan upskilling. Ia menyebut APINDO mendorong adanya pelatihan ulang yang terstruktur dan berkelanjutan, dengan dukungan anggaran dari pemerintah, agar pekerja dari berbagai usia tetap bisa beradaptasi dan berkontribusi pada ekonomi.
Shinta juga mengingatkan bahwa pelatihan kerja yang berkualitas tidak hanya penting bagi pencari kerja baru, tetapi juga krusial bagi pekerja berpengalaman yang ingin tetap relevan di tengah transformasi industri dan digitalisasi. Oleh sebab itu, sinergi antara sektor publik dan swasta menjadi krusial dalam mendesain program pengembangan SDM yang benar-benar dibutuhkan.
Dengan pendekatan yang holistik—mencakup penciptaan lapangan kerja, penguatan kompetensi tenaga kerja, serta kebijakan yang tidak diskriminatif—Indonesia dinilai dapat menciptakan sistem ketenagakerjaan yang lebih inklusif dan produktif. Semua pihak harus terlibat aktif, tidak hanya dalam perumusan regulasi, tetapi juga dalam pelaksanaan nyata di lapangan.
Shinta berharap, diskursus tentang ketenagakerjaan dapat bergeser ke arah pembahasan yang lebih substansial, yakni bagaimana mendorong terciptanya peluang kerja yang merata, memperkuat daya saing SDM, dan membangun struktur ketenagakerjaan yang berkeadilan bagi semua lapisan usia. (Okt)