Categories: Internasional

Alasan Masyarakat Indonesia Boikot Produk AS Akibat Kebijakan Tarif Trump

Gelombang perlawanan terhadap kebijakan tarif Amerika Serikat (AS) yang digagas oleh mantan Presiden Donald Trump kini menjelma menjadi aksi nyata di banyak negara.

Bukan lewat demonstrasi jalanan atau debat sengit antarnegara, tetapi lewat pilihan konsumen dalam kehidupan sehari-hari: memboikot produk-produk buatan Amerika.

Dari pembatalan pembelian mobil Tesla hingga inisiatif pelabelan khusus di rak toko, dunia mulai unjuk gigi untuk menolak dominasi ekonomi AS yang dianggap semakin agresif dan tidak adil.

Google Trends bahkan mencatat peningkatan drastis untuk pencarian dengan kata kunci “Boikot Produk AS”.

Di media sosial, berbagai grup dan komunitas mulai bermunculan, mengampanyekan daftar produk yang harus dihindari dan berbagi alternatif buatan lokal atau negara lain.

Sentimen ini tak hanya muncul di negara-negara berkembang, tetapi juga di kawasan Eropa dan Amerika Utara sendiri.

Tesla menjadi salah satu korban boikot, terutama di Prancis dan Jerman, setelah kebijakan proteksionis AS memicu reaksi keras dari masyarakat internasional.

Tesla Jadi Sasaran: Ketika Loyalitas Berubah Jadi Penolakan

Salah satu yang terkena imbas langsung adalah perusahaan otomotif milik Elon Musk, Tesla.

Di Prancis, pengusaha Romain Roy yang selama ini rutin membeli kendaraan Tesla untuk perusahaannya sejak 2021, memutuskan untuk membatalkan pesanan 15 unit mobil baru. Alasannya?

Pandangan politik Trump yang dianggap terlalu konservatif, ditambah sikap Musk yang kian pro-AS dan terlibat dalam sejumlah kebijakan kontroversial.

Roy memilih mobil produksi Eropa meskipun harus mengeluarkan biaya tambahan hingga USD 164.000.

Baginya, AS telah menjadi negara yang “menutup diri” dari kerja sama global, terutama setelah keputusan Trump menarik diri dari perjanjian iklim Paris.

Reaksi Keras di Denmark dan Kanada

Di Denmark, negara yang sempat diincar Trump untuk membeli wilayah Greenland, reaksi masyarakat begitu kuat.

Raksasa ritel Salling Group bahkan telah menerapkan sistem pelabelan khusus berupa bintang hitam di produk-produk buatan Eropa, untuk membantu konsumen menghindari produk AS.

Inisiatif ini langsung mendapat sambutan luas dari publik.

Di Kanada, gerakan boikot dilakukan lebih kreatif. Sejumlah konsumen membalikkan produk-produk Amerika di rak toko agarmereknya tidak terlihat, dan banyak yang memanfaatkan aplikasi seperti Maple Scan.

Aplikasi ini mampu memindai barcode dan memberi informasi apakah produk tersebut benar-benar buatan Kanada atau milik perusahaan Amerika.

Namun, memboikot produk Amerika tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak merek yang tampak “lokal” ternyata dimiliki oleh perusahaan AS.

Di Inggris, misalnya, merek cokelat Cadbury, toko buku Waterstones, dan apotek Boots ternyata dimiliki oleh korporasi asal AS.

Hal ini membuat konsumen semakin sulit membedakan mana produk lokal dan mana yang perlu diboikot.

Ironi Gerakan Boikot: Facebook, Instagram, dan Pembayaran Digital

Gerakan boikot ini juga sarat dengan ironi. Banyak aksi kampanye yang disebarkan melalui media sosial seperti Facebook, Instagram, dan WhatsApp—semuanya dimiliki oleh perusahaan Amerika.

Bahkan dalam proses pembelian, masyarakat masih menggunakan sistem pembayaran berbasis teknologi AS seperti Visa, Mastercard, Apple Pay, hingga Worldpay.

Jadi meskipun produk AS berhasil dihindari, tetap saja ada aliran dana yang masuk ke sistem dan perusahaan berbasis AS.

Infrastruktur digital global yang sangat bergantung pada layanan komputasi awan dan sistem operasi asal AS juga menyulitkan tercapainya boikot total.

Dalam banyak aspek kehidupan, pengaruh ekonomi dan teknologi Amerika sudah meresap terlalu dalam untuk dihindari sepenuhnya.

Sasaran Empuk Boikot: Coca-Cola, Starbucks, dan Budweiser

Meskipun begitu, sejumlah merek asal AS tetap jadi sasaran utama kampanye boikot karena identitas mereka yang sangat Amerika.

Coca-Cola, Starbucks, dan Budweiser adalah contohnya. Ketiganya secara terbuka menyatakan sebagai “Proudly Made in America” dan inilah yang membuat mereka jadi target utama.

Tak hanya konsumen, sejumlah kelompok aktivis juga mulai menekan pemerintah dan lembaga dagang untuk memberikan prioritas pada kerja sama dengan negara-negara non-AS.

Kampanye ini kian menguat terutama di kalangan Gen Z dan milenial yang sangat peduli dengan isu lingkungan, hak asasi manusia, dan keadilan sosial dalam perdagangan global.

Elon Musk dan Lapangan Golf Trump Kena Getahnya

Elon Musk, sebagai tokoh yang dikenal dekat dengan Trump, menjadi sasaran kemarahan di beberapa negara.

Di Eropa, Australia, dan Selandia Baru, dealer Tesla menghadapi unjuk rasa yang cukup serius. Bahkan ada insiden kendaraan listrik Tesla yang dibakar.

Negara-negara seperti Norwegia, Jerman, dan Australia mengalami penurunan signifikan dalam penjualan Tesla.

Di Skotlandia dan Irlandia, lapangan golf milik Trump juga tak luput dari sasaran.

Pengunjuk rasa datang membawa spanduk, melakukan vandalisme ringan, dan menyerukan agar properti Trump diisolasi secara ekonomi.

Trump Umumkan Jeda 90 Hari, Tapi Terlambat?

Menariknya, hanya sehari setelah tarif baru diberlakukan, Trump tiba-tiba mengumumkan jeda selama 90 hari atas implementasi tarif tersebut.

Namun bagi banyak pihak, keputusan ini dinilai terlalu lambat. Kebijakan Trump dinilai telah menyalakan bara konflik baru yang bukan hanya merugikan Amerika, tetapi juga membuat masyarakat global merasa harus ambil sikap.

Dampak dari kebijakan ini jelas: dunia tidak lagi pasif terhadap dominasi AS dalam perdagangan internasional. Kini, kekuatan konsumen menjadi senjata baru dalam geopolitik ekonomi.

Dan selama Trump, atau siapa pun pemimpin AS berikutnya, tetap memainkan isu proteksionisme sebagai agenda utama, maka gelombang boikot ini diprediksi akan terus membesar.(vip)