
Mantan Komisaris Utama PT Pertamina (Persero), Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, kembali menjadi sorotan publik. Pada Kamis (13/3/2025), Ahok diperiksa oleh penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018-2023. D
alam pemeriksaan tersebut, Ahok membuka isi rapat dan arahan yang pernah diberikan selama menjabat di Pertamina.
Ahok Buka Isi Rapat dan Arahan Semasa Menjabat di Pertamina Kepada Kejagung
Artikel ini akan mengulas secara mendalam mengenai penjelasan Ahok, isi rapat, dan arahan yang disampaikan, serta konteks hukum dan implikasi kasus ini.
Latar Belakang Kasus dan Pemeriksaan
Pada Kamis (13/3/2025) lalu, Ahok hadir di kawasan Kejaksaan Agung, Jakarta, untuk menjalani pemeriksaan sebagai bagian dari penyelidikan kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang. Selama pemeriksaan yang berlangsung selama 10 jam, mulai pukul 08.36 WIB hingga pukul 18.31 WIB, Ahok memberikan keterangannya terkait rapat-rapat dan arahan yang pernah disampaikan ketika ia menjabat sebagai komisaris utama di PT Pertamina. Kasus ini menjerat sembilan tersangka, enam di antaranya merupakan petinggi dari anak usaha atau subholding Pertamina, serta tiga broker yang juga terlibat dalam kasus dugaan korupsi tersebut.
Dalam sidang pemeriksaan, Ahok menyatakan, “Ya, saya kasih tahu tentang apa (rapat). Kita pernah pengarahan apa. Itu ada di mana,” sebagai respons atas pertanyaan dari penyidik. Pernyataan tersebut kemudian memicu perhatian publik karena mengungkapkan adanya arahan yang ternyata tidak sepenuhnya dilaksanakan oleh jajaran Pertamina. Ahok mengimbau penyidik untuk menggali lebih lanjut mengenai alasan mengapa arahan tersebut tidak dijalankan oleh orang-orang yang pernah menerima instruksi tersebut, dan menyarankan agar pertanyaan tersebut diajukan langsung kepada direksi.
Penjelasan Ahok Tentang Isi Rapat dan Arahan
Dalam keterangannya, Ahok menjelaskan bahwa selama masa jabatannya, ia pernah memberikan beberapa arahan penting terkait tata kelola internal dan operasional PT Pertamina. Meskipun ia mengakui bahwa tidak semua arahan tersebut dilaksanakan oleh jajaran Pertamina, ia menegaskan bahwa instruksi yang diberikan merupakan upaya untuk menjaga integritas dan efisiensi operasional perusahaan. Ahok menyampaikan bahwa, “Kalau soal nanti kenapa (arahannya) enggak dikerjakan. Kita ada teguran, ada apa. Bapak (penyidik) tanya sama direksi lah.”
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa terdapat celah komunikasi dan eksekusi dalam pelaksanaan arahan yang pernah disampaikan. Ahok mengungkapkan bahwa ia tidak lagi memiliki akses penuh terhadap data rapat setelah mengundurkan diri dari Pertamina. Namun demikian, ia tetap mampu menunjukkan kronologi rapat dengan merujuk pada agenda dan catatan yang masih ia miliki. “Saya enggak bisa kasih data. Saya hanya bisa ingatkan rapat ini tanggal berapa. Saya masih punya agenda catatan,” ujarnya, menegaskan pentingnya dokumentasi rapat sebagai bukti atas apa yang terjadi selama masa jabatannya.
Konteks Hukum dan Dugaan Korupsi di Pertamina
Kasus yang melibatkan Ahok ini berfokus pada dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang. Kejaksaan Agung menaksir bahwa kerugian negara akibat kasus ini mencapai angka fantastis Rp 193,7 triliun. Dugaan pelanggaran hukum mencakup pelanggaran terhadap Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, serta pelanggaran terhadap ketentuan dalam KUHP Pasal 55 ayat (1) ke-1.
Dalam kasus ini, sembilan tersangka telah ditetapkan oleh Kejagung. Enam di antaranya merupakan petinggi dari anak usaha atau subholding Pertamina, yaitu:
Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan;
Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, Yoki Firnandi;
Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, Sani Dinar Saifuddin;
VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, Agus Purwono;
Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, Maya Kusmaya;
VP Trading Operation PT Pertamina Patra Niaga, Edward Corne.
Selain itu, tiga broker juga menjadi tersangka, yaitu:
Muhammad Kerry Adrianto Riza, beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa;
Dimas Werhaspati, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim;
Gading Ramadhan Joedo, Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
Pemaparan ini semakin mempertegas besarnya dampak kasus terhadap tata kelola perusahaan dan integritas operasional PT Pertamina, yang selama ini menjadi perusahaan energi milik negara yang sangat strategis.
Implikasi Arahan yang Tidak Dilaksanakan
Ahok mengungkapkan bahwa ada sejumlah arahan yang ternyata tidak dieksekusi oleh jajaran Pertamina. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas komunikasi internal dan manajemen di perusahaan. Menurut Ahok, penyidik hendaknya mendalami lebih jauh alasan-alasan di balik kegagalan pelaksanaan arahan tersebut dengan berdiskusi langsung bersama direksi dan pihak-pihak yang terlibat.
Pernyataan ini tidak hanya memberikan gambaran mengenai kondisi internal PT Pertamina pada masa kepemimpinannya, tetapi juga membuka ruang diskusi mengenai tanggung jawab pimpinan dalam memastikan setiap arahan dijalankan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Di sisi lain, hal ini juga menunjukkan upaya Ahok untuk mempertanggungjawabkan peran serta kontribusinya selama menjabat sebagai Komisaris Utama di Pertamina.
Tanggapan Publik dan Dampak Politik
Kasus yang melibatkan Ahok dan sejumlah petinggi Pertamina ini sudah lama menjadi perbincangan publik, mengingat reputasi Ahok sebagai figur yang kontroversial namun juga dihargai atas usahanya dalam memberantas korupsi. Pemeriksaan Ahok oleh Kejagung kali ini kembali memunculkan pertanyaan besar tentang bagaimana tata kelola perusahaan energi nasional dikelola dan diawasi. Dengan adanya keterbukaan dari Ahok mengenai rapat dan arahan yang pernah disampaikan, publik kini memiliki lebih banyak gambaran mengenai dinamika internal di PT Pertamina.
Meski demikian, reaksi publik masih beragam. Beberapa pihak menganggap bahwa keterbukaan Ahok merupakan langkah positif untuk meningkatkan transparansi, sementara yang lain tetap kritis terhadap implementasi kebijakan dan pelaksanaan arahan di tingkat direksi. Perkembangan kasus ini diprediksi akan memberikan dampak yang signifikan terhadap citra dan operasional PT Pertamina ke depan, terutama di tengah kondisi global yang menuntut efisiensi dan integritas dalam pengelolaan sumber daya energi.
Pemeriksaan Ahok sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di Pertamina menandai babak baru dalam upaya pemberantasan korupsi di sektor energi. Dengan membuka isi rapat dan arahan yang pernah disampaikannya, Ahok tidak hanya memberikan gambaran tentang mekanisme internal PT Pertamina, tetapi juga mengajak penyidik dan publik untuk menggali lebih dalam mengenai penyebab kegagalan pelaksanaan arahan tersebut.
Kejadian ini menegaskan bahwa peran seorang pimpinan, terutama dalam perusahaan milik negara seperti Pertamina, sangat penting dalam menjaga transparansi, akuntabilitas, dan integritas operasional. Dengan kata kunci Ahok dan Pertamina, kasus ini akan terus menjadi sorotan publik, mengingat besarnya implikasi hukum dan dampaknya terhadap tata kelola energi nasional. Semoga perkembangan kasus ini dapat memberikan pelajaran berharga bagi semua pihak dalam memperkuat mekanisme pengawasan dan mencegah terjadinya penyimpangan yang merugikan negara.