5 Fakta Menarik tentang Film “Pengepungan di Bukit Duri”

Pengepungan bukit duri

Film aksi-thriller Pengepungan di Bukit Duri tengah menjadi perbincangan hangat di kalangan penikmat film Tanah Air.

Sorotan media sosial tidak hanya tertuju pada adegan laga dan ketegangan jalanan Jakarta Selatan, tapi juga pada kemunculan berbagai easter egg petunjuk halus yang diduga menghubungkan film ini dengan karya-karya sutradara Joko Anwar sebelumnya.

Padahal, dalam konferensi pers resminya, Joko menegaskan bahwa Pengepungan di Bukit Duri “berdiri sendiri” tanpa keterkaitan naratif dengan film lain.

“Kali ini hanya menampilkan apa yang ada di film ini. Kalau pun ada beberapa, ya itu bonus buat yang pengin ngulik,” tegasnya.

Meski begitu, para penggemar ulung berhasil menemukan sejumlah fakta menarik yang memperkaya konteks dan makna film ini.

Berikut lima fakta yang wajib Anda ketahui sebelum atau setelah menontonnya di bioskop:

1. Latar Waktu 2027: Jarak Emosional yang Pas

Latar waktu

Latar Waktu

Salah satu keputusan kreatif paling krusial yang diambil Joko Anwar adalah menetapkan tahun 2027 sebagai latar waktu Pengepungan di Bukit Duri.

Bukan 2025 yang terlalu “sekarang”, juga bukan 2045 yang terlampau jauh. Menurut Joko, menempatkan cerita hanya beberapa tahun ke depan membuat penonton tetap merasa dekat secara emosional dan mudah membayangkan kondisi perkotaan pada masa itu.

Ia berpendapat, jika film berlatar tahun 2045, banyak elemen fiksi seperti teknologi super-canggih atau perubahan sosial radikal akan memisahkan penonton dari konflik karakter.

Dengan 2027, penonton masih bisa melihat kemiripan rutinitas sehari-hari, lanskap kota, dan perilaku remaja masa depan yang wajar, sehingga keterikatan terhadap kisah dan tokoh lebih kuat.

2. Mengangkat Isu Sosial dan Anti-Kekerasan Remaja

Kenakalan remaja

Kenakalan Remaja

Pengepungan di Bukit Duri bukan sekadar film aksi; Joko Anwar sengaja menyelipkan isu sosial yang relevan, khususnya kekerasan di kalangan remaja.

Di banyak kota besar, konflik antar-siswa dari tawuran sekolah hingga bullying sudah jadi ciri urban yang memprihatinkan.

Lewat tokoh utama, Ambar dan Rizal, film menampilkan bagaimana kekerasan kecil di sekolah bisa berkembang menjadi konfrontasi serius di lingkungan sekitar.

Selain itu, hubungan generasi muda dengan orang dewasa orang tua, guru, aparat diulas dalam konteks ketidakpercayaan dan kesalahpahaman.

Tema anti-kekerasan muncul sebagai pesan moral: alih-alih menambah agresi, remaja sebaiknya belajar berdialog dan memahami perbedaan, demi mencegah konflik yang meluas.

3. Referensi Kerusuhan Mei 1998: Trauma Kolektif

Rusuh 98

Kerusuhan 1998

Di balik narasi fiksi, Joko Anwar secara halus menyinggung peristiwa Mei 1998, kerusuhan berdarah yang meninggalkan luka mendalam bagi komunitas etnis Tionghoa di Indonesia.

Petunjuk paling mencolok adalah frekuensi radio “98.05 FM” yang berulang kali terdengar di latar suara angka “98.05” diduga merujuk Mei (05) 1998.

Lebih dari sekadar simbol, referensi ini mengingatkan penonton pada betapa cepat sebuah konflik bisa meledak menjadi kekerasan massal.

Dengan menanamkan elemen ini, Joko ingin menegaskan betapa pentingnya ingat sejarah agar generasi muda tidak mengulangi kesalahan yang sama, sambil menambah lapisan kedalaman pada cerita aksi yang tampak “kontemporer” saja.

4. Tanggal Tayang 17 April: Hubungan dengan “Pengabdi Setan”

Pengepungan di bukit duri

Pengepungan di Bukit Duri

Pengepungan di Bukit Duri tayang perdana pada 17 April 2025, sebuah pilihan tanggal yang bukan tanpa makna.

Jika diperhatikan, film Pengabdi Setan milik Joko Anwar yang meledak secara komersial juga menggunakan tanggal 17 April sebagai salah satu elemen kronologis film: 17 April 1955 di film pertama, kemudian 17 April 1897 dan 17 April 1984 di sekuel.

Meski Pengepungan di Bukit Duri tidak berhubungan langsung dengan universe horor tersebut, tanggal yang sama ini berfungsi sebagai “salam pembuka” bagi penggemar setia Joko Anwar, mengundang rasa penasaran sekaligus nostalgia.

Pilihan tanggal 17 April 2025 turut memperkuat citra sutradara yang menggunakan angka tersebut sebagai ciri khas rilis karyanya.

5. Skenario Berusia 17 Tahun: Kesabaran Kreatif Joko Anwar

Joko anwar

Joko Anwar

Fakta terakhir menyoroti proses kreatif panjang di balik film ini. Joko Anwar mengaku mulai menulis kerangka skenario Pengepungan di Bukit Duri sejak 2007, saat ia masih mengeksplorasi genre thriller-urban.

Namun, baru pada 2024 ia merasa visi dan kematangannya cukup untuk mewujudkannya di layar lebar.

Perjalanan 17 tahun ini ia gunakan untuk menyempurnakan alur, mendalami psikologi karakter, dan menyesuaikan konflik dengan kondisi sosial terkini.

Hasilnya adalah skrip yang kaya lapisan menggabungkan aksi, drama keluarga, kritikan sosial, dan easter egg sejarah yang akhirnya dituangkan ke dalam produksi besar pada awal 2025.

Kelima fakta ini menunjukkan bahwa Pengepungan di Bukit Duri lebih dari sekadar film adrenalin; ia adalah hasil perpaduan matang antara riset lapangan, kepekaan sosial, dan kesabaran kreatif seorang Joko Anwar yang selalu ingin menantang batas genre.

Dengan latar 2027 yang pas, isu remaja yang relevan, simbol sejarah yang menyentuh, penanggalan magis, dan skenario berusia hampir dua dekade, film ini layak mendapat perhatian ganda sekali untuk aksi, dan berkali-kali untuk makna.

Jadi, itulah 5 fakta menarik yang terdapat pada film “Pengepungan di Bukit Duri” yang sedang tayang di bioskop pada saat ini. (ctr)